BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hak-hak
asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan hukum pemberian penguasa. Bila berbicara
tentang hak-hak asasi maka tidak dapat dilepaskan kewajiban-kewajiban asasi.
Berhubungan
dengan hal itu maka pelaksanaannya harus diatur sesuai dengan sadar kehendak
dan sadar hukum yang pada akhirnya terwujud dalam kesadaran kehendak dan
kesadaran hukum. Pengaturan kesadaran hukum ini adalah pengekangan dari dalam
diri manusia sendiri berupa etik, norma, adat kebiasaan dan lain-lainnya, dan
pengekangan dari luar diri manusia sendiri berupa peraturan, ketentuan dan
perundangan yang disepakati dan dipatuhi manusia dan masyarakat bersama. Maka
pada kesempatan kali ini kami akan membahas tentang Sejarah dan Perkembangan
HAM di Indonesia agar kita semua lebih memahami tentang Hak Asasi Manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Hakekat HAM
Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, hak
asasi manusia adalah hak-hak yang
melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia. Pengertian tersebut dapat dibaca dalam ABC, Teaching
Human Rights, yang merumuskan HAM dengan pengertian. “Human rights could
be generally defined as those rights which are inherent in our nature and
without which can not live as human being”.
Hak
asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa.
Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat
kodrati yakni ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Dalam
undang-undang tentang hak asasi manusia pasal 1 dinyatakan: “Hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjug tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”.[1]
Sedangkan
hakikat HAM Merupakan
upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, begitu juga upaya
dalam menghormati melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan
tanggung jawab bersama antara individu pemerintah (Aparatur Pemerintah baik
sipil maupun militer) dan Negara.[2]
B.
Perkembangan
Pemikiran HAM
Hak
asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan
masyarakat. Hak-hak ini dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama
atau kelamin, karenanya bersifat asasi atau universal.
Setelah dunia mengalami dua perang yang
melibatkan hampir seluruh kawasan dunia, dimana hak-hak asasi manusia
diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu di
dalam suatu naskah internasional. Usaha ini baru dimulai pada tahun 1948 dengan diterimanya Universal
Declaration of Human Rights (pernyataan dunia tentang hak-hak asasi
manusia) oleh Negara yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa.
Terwujudnya deklarasi Hak Asasi Manusia
Universal yang dideklarasikan pada tanggal 10 desember 1948 harus melewati
proses yang cukup panjang. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah HAM yang
mendasari kehidupan manusia, dan yang bersifat universal dan asasi.
Naskah-naskah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Magna Charta (Piagam Agung 1215):
suatu dokumen yang mencatat beberapa hak
yang diberikan oleh Raja Jhon dari Inggris kepada beberapa bangsawan
bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja
Jhon itu.
2. Bill of Rights (Undang-undang
hak 1689): suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah
berhasil dalam tahun sebelumnya, mengadakan perlawanan terhadap Raja James II
dalam suatu revolusi hak berdarah yang dikenal dengna istilah The Glorious
Revolution of 1688.
3. Declaration des Droits de I’homme et du citoyen (pernyataan
hak-hak manusia dan warga Negara. 1789): suatu naskah yang dicetuskan pada
permulaan revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan regim lama.
4. Bill of Rights (undang-undang
hak): suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1769 dan
kemudian menjadi bagian dari undang-undang dasar pada tahun 1791.
Pada abad ke-20 hak-hak politik dianggap
kurang sempurna. Dan mulailah dicetuskan hak-hak lain yang lebih luas
cakupanya. Satu diantaranya yang sangat terkenal ialah empat hak ynag
dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt pada awal PD II: The
four Freedom.
Sejalan dengan pemikiran ini maka PBB
memprakasai berdirinya sebuah komisi HAM untuk pertama kali yang diberi nama Comission
on Human Rights pada tahun 1946. Komisi inilah yang kemudian menetapkan
secara terperinci beberapa hak-hak ekonomi dan social, disamping hak-hak
politis yaitu:
1. Hak
hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (pasal 3)
2. Larangan
perbudakan (pasal 4)
3. Larangan
penganiayaan (pasal 5)
4. Larangan
penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9)
5. Hak
atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (pasal 10)
6. Hak
atas kebebasan bergerak (pasal 13)
7. Hak
atas harta dan benda (pasal 17)
8. Hak
atas kebebasan berfikir, menyuarakan hati nurani dan beragama (pasal 180)
9. Hak
atas mengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran (passal 19)
10. Hak
atas kebebasan berkumpul dan berserikat(pasal 200)
11. Hak
untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 21)
Deklarasi sedunia ini juga menyebut
beberapa hak social dan ekonomi yang penting:
1. Hak
atas pekerjaan (pasal 23)
2. Hak
atas taraf hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan
(pasal 25)
3. Hak
atas pendidikan (pasal 26)
4. Hak
kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan
masyarakat, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas
perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil karya cipta
seseorang dalam bidang ilmu, kesusastraan, dan seni (pasal 21).[3]
Di Indonesia sebenarnya pernyataan hak
asasi manusia ini telah mendahului piagam umum pernyataan Perserikatan
Bangsa-bangsa tersebut.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 agustus 1945 dalam Undang-undang Dasar Negara Indonesia mencantumkan
dengan tegas tentang hak-hak asasi manusia ini, baik dalam pembukaan maupun
dalam Batang Tubuh UUD 1945 tersebut. Negara kita menghormati hak-hak asasi
manusia dan martabat manusia.[4]
C.
Bentuk-bentuk
HAM
Manusia selalu memilki hak-hak dasar
(basic rights) antara lain:
1. Hak
hidup
2. Hak
untuk hidup tanpa ada perasaan takut dilukai atau dibunuh oleh orang lain
3. Hak
kebebasan
4. Hak
untuk bebas, hak untuk memiliki agama/kepercayaan, hak untuk meperoleh
informasi, hak menyatakan pendapat, hak berserikat, dan sebagainya
5. Hak
pemilikan
6. Hak
untuk memilih sesuatu, seperti pakaian, rumah, mobil, perusahaan, pabrik, dan
sebagainya
Sedangkan menurut deklarasi HAM PBB
secara singkat dijelaskan seperangkat hak-hak dasar manusia yang sangat sarat
dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak
disiksa dan tidak ditahan, dipersamakan dimuka hukum (equality before the
law), mendapatkan praduga tidak bersalah dan sebagainya. Hak-hak lain juga
dimuat dalam deklarasi tersebut seperti seperti hak-hak akan nasionalitas,
pemilikan, pemikiran, agama, pendidikan, pekerjaan dan kehidupan berbudaya.[5]
D.
Nilai-nilai
HAM Universal dan Partikular
Perdebatan
tentang nilai-nilai HAM apakah universal (artinya nilai-nilai HAM berlaku umum
di suatu Negara) atau particular (artinya nilai-nilai HAM sangat konstekstual
yaitu mempunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap Negara karena ada keterikatan dengan nilai-nilai kultural
yang tumbuh dab berkembang pada suatu Negara) terus berlanjut. Berkaitan dengan
nilai-nilai HAM, ada tiga teori yang dapat diajdikan kerangka analisis yaitu
teori realitas (realistic theory), teori relativisme kultural (cultural
relativision theory) dan teori radikal universalisme (radical universalism).
Teori
realitas mendasari pandangannya pada asumsi adanya sifat manusia yang
menekankan self interest dan egoisme dalam bertindak anarkis. Dalam situasi
anarkis, seseorang mementingkan dirinya sendiri, sehingga menimbulkan chaos dan
tindakan tidak manusiawi diantara individu dalam memperjuangkan egoism dan self
interest-nya. Dengan demikian, dalam situasi anarkis prinsip universalitas
moral yang dimiliki setiap individu tidak dapat berlaku dan berfungsi. Untuk
mengatasi situasi demikian Negara harus mengambil tindakan berdasarkan power
dan security yang dimiliki dalam rangka menjaga kepentingan nasional dan
keharmonisan social dibenarkan. Tindakan yang dilakukan Negara yang seperti
diatas tidak termasuk dalam kategori tindakan pelanggaran HAM oleh Negara.
Sementara
itu teori relativitas kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya
bersifat particular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM
bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu Negara. Dalam
kaitanya dengan penegakan HAM, menurut teori ini ada tiga model penerapan HAM
yaitu:
1. Penerapan
HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik, dan hak kepemilikan
pribadi.
2. Penerapan
HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan sosial
3. Penerapan
HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self
administration) dan pembangunan ekonomi.
Model
pertama banyak dilakukan oleh Negara-negara yang tergolong dunia maju, model
kedua banyak diterapkan di dunia berkembang untuk model ketiga banyak
diterapkan di dunia terbelakang. Selanjutnya, teori radikal universalitas
berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat
universal dan tidak sejarah suatu Negara. Kelompok radikal universal menganggap
bahwa ada satu paket pemahaman mengenai HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama
di semua tempat dan disembarang waktu serta dapat diterapkan pada masyarakat
yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian
pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku sama dan universal
bagi semua Negara dan bangsa. Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang
nilai-nilai HAM itu ada dua arus pemikiran atau pandangan yang saling tarik
menarik dalam melihat relativitas
nilai-nilai HAM yaitu atrong relativist dan weak relativist. Strong
relativist beranggapan bahwa nilai HAM dan nilai-nilai HAM local (particular)
dan nilai-nilai HAM yang universal. Sementara Weak relativist memberi penekanan
bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan sulit untuk dimodifikasi
berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Berdasarkan pandangan ini nampak
tidak adanya pengakuan terhadap nilai-nilai HAM local melainkan hanya mengakui
adanya nilai-nilai HAM universal.[6]
E.
HAM
dalam perspektif Islam
Islam
sebagai agama universal mengandung prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sebagai
sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar
dengan manusia lainnya.
Menurut ajaran Islam, perbedaan
antara satu individu dengan individu
lain bukan terjadi karena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan keimanan
dan ketakwaannya. Adanya perbedaan itu tidak menyebabkan perbedaan dalam
kedudukan sosial. Hal ini merupakan dasar yang sangat kuat dan tidak dapat dipungkiri telah memberikan
konstribusi pada perkembangan prinsip-prinsip hak asasi manusia di dalam
masyarakat internasional.
Dalam sejarah konstitusi Islam terhadap
dua deklarasi yang memuat hak-hak asasi manusia yang dikenal dengan Piagam
Madinah dan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration).
Terdapat dua landasan pokok bagi
kehidupan bermasyarakat yang diatur dalam Piagam Madinah, yaitu:
1. Semua
pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa.
2. Hubungan
antar komunitas Muslim dan Non-muslim didasarkan pada primsip-prinsip:
a. Berinteraksi
secara baik dengan sesama tetangga
b. Saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela
mereka yang teraniaya
d. Saling
menasihati
e. Menghormati
kebebasan beragama
Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of the Islamic
Conference (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus menegluarkan deklarasi tentang
kemanusiaan sesuai syariat Islam di Kairo. Konsep hak asasi manusia hasil
rumussan OKI ini selanjutnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Kairo. Deklarasi
ini berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan
pernyataan semesta hak-hak asasi manusia
(The Universal Declaration of Human Rights/UDHR) yang dideklarasikan
oleh PBB tahun 1948.[7]
Semangat
kaum feminis menyuarakan “kedirian” perempuan menjadi fenomena tak terbantahkan
oleh zaman. Dimulai sejak abad ke-17 (ketika istilah feminism pertama kali
digunakan), para perjuangan hak-hak perempuan bergerak terus mendesak perubahan
nasib bagi perempuan menuju kondisi yang
lebih baik dan adil, bangkit dari kejayaan patriarki, yakni dunia yang
didominasi laki-laki.[8]
F.
Perkembangan
penegakan HAM di Indonesia
Perkembangan
penegakan HAM di Indonesia rasanya semakin baik. Ini didorong pertumbuhan
pemahaman HAM secara internasional. Dulu, penegakan HAM itu lebih bersifat soft
law. Tetapi perkembangan di dunia
internasional kini justru mengarah
menjadi hard law.
Di tingkat dunia
nanti, akan dibentuk Internasional Criminla of Court. Bila ada lembaga ini,
salah satu kejahatan yang akan diadili, adalah pelanggaran HAM. Yang perlu di
khawatirkan adalah nanti seseorang yang langsung melanggar HAM di Indonesia,
keluar negeri bisa ditangkap dan diadili di peradilan criminal internasional
itu.
Jadi sekalipun
lambat, tetapi secara terencana kita harus mulai meratifikasi konvensi mengenai
HAM. Kalau konvensi internasional itu diratifikasi memang akan muncul persoalan
mengenai kedaulatan Negara kita. Seorang anggota Komisi HAM PBB pun bisa masuk
ke Indonesia dan melakukan investigasi. Namun ini bukan alasan bagi kita, untuk
tidak segera meratifikasi konvensi PBB. Yang perlu segera diratifikasi, adalah
konvensi yang menyangkut hak ekonomi, social, dan budaya masyarakat. Konvensi
yang menyangkut sipil dan politik baru berikutnya, karena kita harus siap lebih
dahulu, sehingga kedaulatan kita tidak dilanggar. Apabila kita belum siap dan
sudah meratifikasi konvensi itu nanti bisa malu.
Menurut Prof.
Dr.Muladi mau diakui atau tidak, kinerja Komnas HAM selama ini banyak
menyelamatkan muka diplomat kita di luar negeri. Artinya banyak membantu
diplomasi, menciptakan image yang positif. Sebab sering kali berita yang
dilansir media luar negeri, banyak
didramatisir serta menyudutkan Indonesia dalam masalah penghormatan HAM.
Di
samping itu, Komnas HAM sungguh berusaha menyebarluaskan wawasan tentang HAM,
melakukan pemantauan, pendidikan HAM, serta melakukan hubungan luar negeri.
Dengan demikian, kita telah memiliki suatu lembaga yang betul-betul obyektif
untuk menilai masalah HAM ini. Komnas HAM juga telah mendorong semua orang,
baik sipil atau ABRI kini mulai bicara tentang HAM. Soal pelanggaran HAM di
mana-mana memang tetap terjadi. Namun yang sungguh diharapkan, adalah rencana
aksi nasional tentang HAM yang disebut sebagai “the nation plan of action”
perlu segera dirumuskan. Ini penting, antara lain mengenai rencana pembentukan
Tap MPR tentang HAM, yang merupakan ketetapan MPR non Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN).[9]
G.
Penanggungjawab
dalam penegak, pelindung, dan pemenuhan HAM di Indonesia
Dalam upaya penegakan hak asasi manusia
di Indonesia, dibutuhkan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana penegakan
HAM tersebut dikategorikan menjadi dua bagian yakni:
1. Sarana
yang berbentuk institusi atau kelembagaan seperti lahirnya Lembaga advokasi
tentang HAM yang dibentuk LSM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Nasional HAM Perempuan dan institusi lainnya.
2. Sarana
yang berbentuk peraturan atau undang-undang, seperti adanya beberapa pasal
dalam .konstitusi UUD 1945 yang memuat tentang HAM, UU RI No. 39 Th. 1999,
Keppres RI No. 50 Th. 1993, Keppres RI No. 129 Th. 1998, Keppres RI No. 181 Th.
1998 dan Inpres RI No. 26 Th. 1998. Kesemua
perangkat hukum tersebut merupakan sarana pendukung perlindungan HAM.[10]
Tanggung
jawab pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM tidak saaj dibebankan Negara
meliankan juga kepada individu warga Negara. Artinya Negara dan individu sama-sama
memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan penghormatan dan perlindungan HAM.
Dalam
kaitannya dengan individu tersebut,
Mickel mengajukan tiga alasan:
1. sejumlah besar problem HAM tidak
hanya melibatkan aspek pemerintah tetapi juga kalangan swasta atau kalangan
diluar Negara, dalam hal ini adalah rakyat.
2. HAM sejatinya bersandar pada pertimbangan-pertimbangan
normatif agar umat manusia diperlakukan dengan human-dignity-nya.
3. Individu memiliki tanggung jawab
atas dasar prinsip-prinsip demokrasi dimana setipa orang memilki
kewajiban-kewajiban atau ikut mengewasi tindakan pemerintah. Dalam masyrakat
demokratis, sesuatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga menjadi kewajiban
rakyat.[11]
Secara normatif, penegakkan HAM di Indonesia mengacu
dalam peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan RI
terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM, yaitu.
1. Undang-undang Dasar Negara (UUD 1945).
2. Ketetapan MPR (TAP MPR).
3. Undanag-undang.
4. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan, seperti
peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan pelaksana lainnya.[12]
H.
Pelanggar
dan Pengadilan HAM
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut
Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku
(Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan
Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
- Kejahatan genosida;
- Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan
genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
- Membunuh anggota kelompok;
- mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
- menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
- memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
- memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
- pembunuhan;
- pemusnahan;
- perbudakan;
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
- perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan;
- perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM)
Penyiksaan adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit
atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan
menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah
dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa
seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut
ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan
siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM)
Penghilangan
orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan
Pasal 33 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).[13]
[2]
http://taufiq-hidayat92.blogspot.com/2013/10/makalah-hak-asasi-manusia.html, diakses pada kamis, 21 Mei 2015 pukul 14:15
[6] http://taufiq-hidayat92.blogspot.com/2013/10/makalah-hak-asasi-manusia.html, diakses pada kamis, 21 Mei 2015 pukul 14:15
[9] http://taufiq-hidayat92.blogspot.com/2013/10/makalah-hak-asasi-manusia.html, diakses pada kamis, 21 Mei 2015 pukul 14:15
[11] http://taufiq-hidayat92.blogspot.com/2013/10/makalah-hak-asasi-manusia.html, diakses pada kamis, 21 Mei 2015 pukul 14:15
[12] http://sriargarini.blogspot.com/2012/05/hak-asasi-manusia.html
, diakses pada Kamis, 21 Mei 2015 pukul 14:33
[13] http://einsteinfisika.blogspot.com/2011/06/makalah-ham-hak-asasi-manusia.html,
diakses pada Kamis, 21 Mei 2015 pukul 14:19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar