Kamis, 12 Maret 2015

MAKALAH METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks pemahaman al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang harus dilalui untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat al-Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran merupakan: seperangkat kaidah yang seharusnya dipakai oleh penafsir ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, al-Quran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan  ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Quran itu. Sehingga al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut  antara lain susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.Apa Pengertian Metode Tafsir ?
2.Apa saja macam – macam metode tafsir ?
3.Bagaimana klasifikasi dan corak  tafsir ?

C.    TUJUAN MASALAH
1.Menjelaskan pengertian metode tafsir
2.Mendeskripsikan macam – macam metode tafsir
3.Menjelaskan klasifikasi dan corak tafsir

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN METODE TAFSIR
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan tharîqah dan manhaj. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti : “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud sedangkan dalam ilmu pengetahuan mengandung arti : “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.
Sedangkan “tafsir” secara bahasa mengadung arti : menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan para Ulama berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan ialah: “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Quran, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.
Jadi, yang dimaksud metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
Sedangkan ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia yaitu metodologi penafsiran.


B.     METODE - METODE PENAFSIRAN
Study atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
§  Ijmaly (global)
§  Tahlily (analistis),
§  Muqaran (perbandingan),
§  Maudhu’i (tematik). 
Atas seizin Allah kami akan menjelaskan keempat metode ini lebih terperinci lagi, terutama metode keempat mengingat pentingnya metode ini untuk diketahui oleh siapa saja yang hendak menafsirkan Al-Qur’an. 
1)      Metode Ijmali (Global)
a)      Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam muskhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul), peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat ulama saleh.[1]
b)     Kelebihan
Ø  Praktis dan mudah dipahami  oleh  ummat  dari berbagai  strata  sosial  dan  lapisan masyakat. 
Ø  Bebas  dari  penafsiran  kemungkinan israiliah maka  tafsir ijmali  relatif murni  dan  terbebas  dari  pemikiran-pemikiran  Israiliat  dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .
Ø   Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
c)      Kelemahan
Ø  Menjadikan  petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang  utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
Ø  Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode  ijmali  tidak menyediakan  ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan  adanya  analisis  yang  rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode  ini.
d)     Contoh kitab tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.[2]
e)      Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.[3]

2)      Metode Tahliliy (Analisis)
a)      Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna kosokata, makna kalimat, maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai tabi’in , terkadang pula diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an yang mulia.
b)       Kelebihan
Ø  Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai  ruang  lingkup yang  termasuk  luas. Metode  ini dapat digunakan  oleh mufassir  dalam  dua  bentuknya; ma’tsur  dan  ra’y  dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir.
c)      Kelemahan
Ø  Menjadikan petunjuk  al-Qur’an parsial atau  terpecah-pecah,tidak  utuh  dan  tidak  konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang  diberikan  pada  ayat-ayat  lain  yang  sama  dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat  lain yang mirip atau sama dengannya.
Ø  Masuknya  pemikiran Israiliat  sebab berbagai  pemikiran  mufassir dapat masuk ke  dalamnya,  tidak  tercuali  pemikiran  Israiliat Contohnya,  kitab tahlili seperti  dalam  penafsiran  al-Qurthubi  tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.[4]
d)     Contoh kitab tafsir tahlili
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)[5]
e)      Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk  ma’tsur  (riwayat) atau ra’y (pemikiran)[6]

3)      Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan)
a)      Pengertian
Pengertian metode muqaran (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
·         Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
·         Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
·         Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.[7]
Jadi metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah  yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur’an
2.      Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
3.      Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing.
4.      Menjelaskan siapa saja yang mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.
Selain rumusan di atas, metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan kajian-kajian lainnya.[8]
b)      Kelebihan
Ø  Memberikan wawasan penafsiran yang  relatif  lebih  luas  kepada  pada  pembaca  bila  dibandingkan  dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin  ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
Ø  Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,
Ø  Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
c)      Kelemahan
Ø  Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
Ø  Metode  ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang  tumbuh di  tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah[9]
d)     Contoh kitab tafsir Muqaran
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah: Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.[10]
e)      Ciri-ciri Metode Muqaran
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqaran”.[11]

4)       Metode Maudhu’iy (Tematik)
a)      Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
b)        Kelebihan
Ø  Menghindari problem atau kelemahan metode lain
Ø  Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an
Ø   Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami
Ø  Metode ini  memungkinkan seseorang untuk  menolak anggapan adanya ayat-ayat  yang  bertentangan  dalam  al-Quran,  sekaligus  membuktikan bahwa  ayat-ayat   al-Qur’an   sejalan   dengan   perkembangan   ilmu pengetahuan dan masyarakat.
c)      Kekurangan
Ø  Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
Ø  Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.[12]
d)     Contoh kitab tafsir Maudhu’i
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).[13]
e)      Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang  guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
·         Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
·         Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
·         Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
·         Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
·         Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
·         Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
·         Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang  khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.[14]
C.    KLASIFIKASI  TAFSIR DAN CORAK TAFSIR
1.      Klasifikasi Tafsir
a.      Tafsir bi Al-Ma’tsur
Tasir bil Al-Ma’tsur disebut juga tafsir riwayah atau tafsir manqul, yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. Tasir bil Al-Ma’tsur adalah penjelasan Al-Qur’an sendiri dari Rasulullah Saw, yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.[15]
Ø  Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur sebagai berikut:
·         Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
·         Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya 
·         Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak      terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.
Ø  Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur antara lain sebagai berikut: 
·         Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.
·         Penghilangan sanad
·         Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pokok al-Quran menjadi kabur.
·         Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-mansukh) hampir di katakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya. 
·         Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran al-Quran.
Ø  Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain:
 Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas). [16]
Ø  Hukum Tafsir bil Ma’tsur.
Tafsir bil ma'tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata : "Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salaf. (Tafsir Thobari: 1/66 dengan beberapa ringkasan.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata : "Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur'an telah dibaca oleh para sahabat, tabi'in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untuk menyampaikannya. (Majmu' Fatawa: 13/362.)[17]
b.      Tafsir bi al Ra’yi
Kata al ra’yi secara etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan lain-lain.[18]
Tafsir bir Ro’yi adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya dengan akal semata. Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid'ah yang meyakini pemikiran tertentu kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur'an kepada pemikiran mereka tanpa ada pendahulu dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak dinukil dari para imam ataupun pendapat mereka dan tidak pula dari tafsir mereka. Seperti kelompok Mu'tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu 'Ali Al-Juba'i, Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari.[19]
Ø  Kelebihan Tafsir bi al Ra’yi
·         Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka merenungkan Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
                           كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوْا  اَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا ْالاَلْبَابِ
Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya mereka memperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal" (QS.Shad:29)
"merenung dan berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami rahasia-rahasia al-Qur'an dan berijtihad untuk memahami makna-maknanya.
·         Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar kembali kepada ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:
 وَلَوْ رَدُّوْهُإَلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِى اْلاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِظُوْنَهُ مِنْهُمْ
                        Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang mempunyai urusan di anatara mereka, niscaya orang-orang yang meneliti di antara mereka mengetahui akan hal ini (QS.An-Nisa:83)
·         Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak diperbolehkan, dan tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini tidak benar
·         Sesungguhnya para sahabat telah membaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam menafsirkannya. Juga telah maklum bahwa tidak semua yang mereka katakan tentang al-Qur'an itu mereka dengar dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak menerangkan segala sesuatu kepada mereka, melainkan beliau terangkan kepada mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang sebagain, yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad.
Ø  Kelemahan Tafsir bi al Ra’yi
·         Sesungguhnya tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa berdasarkan suatu ilmu, ini jelas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam firman Allah SWT:
وَاَنْ تَقَولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ
                   Artinya: ….. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah                                tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui
·         Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:
اِتَّقُوا الحَدِيْثَ عَلَيَّ إِلاَّ مَا عَلِمتُمْ فَمَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْاَنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
   Artinya : takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu. barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya di neraka. Dan barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka ambillah saja tempat duduknya di neraka (HR at-Turmudzi)
 Firman Allah SWT
 وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُوْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka memikirkannya (QS.an-Nahl;44)
·         Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapat mereka. Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِيْ : وَأَيُّ اَرْضٍ تُقِلُّنِيْ : إِذَا قُلْتُ فِي الْقُرْانِ بِرَأءيِي
 أَوْ قُلْتُ فِيْهِ بِمَا لاَ اَعْلَمُ
  Artinya: di langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-Qur'an dengan sesuatu yang tidak kuketahui?[20]
Ø  Tafsir-tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain:
Tafsir al-Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazi[21]
Ø  Hukum Tafsir Bir Ro’yi
Adapun menafsirkan Al-Qur'an dengan akal semata, maka hukumnya adalah harom. Sebagaimana Firman Allah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. Al-Isro': 36)
Rasulullah bersabda : "Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur'an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.[22]

2.      Corak Tafsir
a.      Tafsir Ash-Shufi
Tafsir sufi adalah penafsiran al Qur’an yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al- Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan tentang Islam.[23] Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-Karim, karya Sahl al-Tustarī, Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī, Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī.[24]
b.      Tafsir Fiqhī
Tafsir fiqhi, adalah corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat di antara imam madzhab. Tafsir ini sering disebut tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam karena tafsir ini lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an (ayat al-ahkam).[25] Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās, Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi, dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī .[26]
c.       Tafsir falsafi
Adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.[27] Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al- Hikam karya Al Farabi, Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi[28]
d.      Tafsir ilmi
Tafsir ilmi adalah suatu metode tafsir yang berusaha menjalaskan istilah-istilah yang ilmiyah dalam al-Qur’an dan menghasilkan berbagai macam teori ilmiyah dan filsafat.  Dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan tafsir ilmi adalah seorang mufassir yang berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an dengan metode atau pendekatan ilmiyah atau ilmu mengetahuan.[29] Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke dalamnya.[30]
e.       Tafsir Adabi wa Ijtima’i
Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak  Al-adabi wa al-ijtima’i itu tersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby merupakan bentuk kata yang diambil dari fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’iy yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.
Tafsir ini berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Quran dari segi balaghah dan kesastraannya serta berupaya mengungkapkan betapa keagungan Al-Quran itu sebagai sebuah mu’jizat mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Al-Quran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Al-Quran dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Quran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa yang nantinya dapat mengugah hati untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia Al-Quran al-Karim tersebut.[31]
Diantara kitab tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah :
a.       Tafsir Al-Manar, karya Rasyidh Ridha
b.      Tafsir Al-Maraghi, karya Al-Maraghi
c.       Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Karya Syaikh Mahmud Syaltut[32]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
2.      Metode-metode penafsiran dibagi dalam  empat cara (metode), yaitu :
a.       Metode Ijmali (Global) adalah  suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. 
b.      Metode Tahlil (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c.       Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.
d.      Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
3.      Klasifikasi dan corak tafsir antara lain:

a.       Tafsir bi Al-Ma’tsur
b.      Tafsir bi Al-Ra’yi
c.       Tafsir Ash-Shufi
d.      Tafsir Al-Fiqhi
e.       Tafsir Al-Falsafi
f.       Tafsir Al-Ilimi
g.      Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima

B.     SARAN
Penyusun sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menyarankan kepada semua pihak yang membaca dan membahas makalah ini, agar bisa lebih banyak lagi menambah literature-literatur supaya dapat menambah pengetahuan kita perhadap Tafsir Al-Qur’an. Yang tentunya masih banyak referensi-referensi terhadap makalah yang kami tulis ini.


[1] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38
[7] Drs.Badri Khaeruman,sejarah perkembangan tafsiral-qur’an,(Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2004) hlm. 99
[8] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.39
[10] http://budy-lovestory.blogspot.com/2014/06/metode-tafsir-muqaran_19.html
[13] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.60
[15] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.24
[18] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.26
[21] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.27
[24] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.30
[26] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.32
[28] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.33
[32] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38