Rabu, 09 September 2015

Maslahah Mursalah



A.    Pendahuluan
Latar Belakang
       Perubahan dalam kuasa atau kebiasaan tidak dapat mengubah hukum. Apa yang tampak berubah dalam hukum hanyalah penyimpangan darinya karena ada kebutuhan dalam sikap, Ibn Taimiyah yang memaafkan orang Tartar meneguk minuman keras, Karena situasi semacam itu memerlukan menuntut ketepatan semacam itu. Penyimpangan-penyimpangan semacam itu tampak sebagai perubahan-perubahan tetapi pada kenyataanya penyimpangan-penyimpangan itu tidak mengubah hukum, karena hukum yang eternal dan untuk sepanjang masa tidak bisa berubah tetapi tetap sama dan bisa diaplikasikan jika situasi berubah atau perrsoalan-persoalan kembali ke posisi sebelumnya atau posisi semula atau situasi yang baru muncul yang menghendaki penerapan hukum yang sama. Oleh karena itu kami akan membahas Pengertian dan Kedudukan Maslahah Mursalah agar kita dapat memahami tentang maslahah mursalah itu sendiri.









B.     Pembahasan
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat maushuf , atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah.[1] Tentang arti mashlahah secara etimologi adalah setiap sesuatu yang menimbulkan suatu perbuatan, berupa hal-hal baik sedangkan secara terminologi menurut imam ghazali mashlahah sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kemanfaatan dan menanggulangi kerusakan.[2] sedangkan dalam kamus besar dikatakan bahwa maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, guna. Sedangkan kata “kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata “manfaat”, dalam kamus tersebut diartikan dengan: guna, faedah. Kata “manfaat” juga diartikan  sebagai kebalikan/lawan kata “mudarat”yang berate rugi atau buruk.[3]
Al – mursalah adalah isim maf’ul atau objek dari fiil madhi atau kata dasar dalam bentuk tsusasi atau kata dasar yang tiga huruf, yaitu ر سل  , dengan penambahan huruf alif di pangkalnya, sehingga menjadi ا ر سل  . secara etmologi atau bahasa artinya terlepas atau dalam arti مطلقة atau bebas. Kata terlepas dan bebas disini bisa berhubungan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak nya dilakukan.[4]
Pengertian mashlahah mursalah adalah menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’.

2.      Kedudukan Maslahah Mursalah
     Adapun kedudukan mashlahah mursalah adalah sebagai sumber hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu permasalahan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’. Adapun dasar pemakaian mashlahah adalah; Pertama mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakkan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya. Kedua menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril. Ketiga  perubahan masa.[5]
Kalangan ulama Malikiyah dan Hanfiyyah berpendapat bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dallil hukum Islam. Ada beberapa argumen yang dikemukakan dianatranya:
a.       Adanya perintah Al-Qur’an (QS. An-Nisa’(4):59)agar mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa perselisihan itu terjadi karena itu merupakan masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Untuk memecahkan masalah semacam itu, selain dapt ditempuh lewat metode qiyas, tentu dapt ditempuh lewat metode lain seperti istislah.
b.      Hadits Mu’adz bin Jabal. Dalam hadis, Rosululloh membenarkan dan memberi restu kapada Mu’adz untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang perlu diputuskan hukumnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa dalam berijtihad  banyak metode yang bisa dipergunakan. Diantaranya dengan metode qiyas , apabila kasus yang dihadapi ada percontohannya yang dihukumnya telah ditegaskan oleh nash syara’ lantaran ada illah yang mempertemukan.
c.       Tujuan pokok penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
d.      Di zaman sahabat banyak muncul masalah baru yang belum pernah terjadi pada zaman Rasullullah. Untuk mengatasi hal ini, sahabat banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah mursalah. Cara dan tindakan semacam ini sudah menjadi konsesus para sahabat
Kalangan ulama Syafi’iyah dan ulama Hanbilah berpandangan bahwa maslahah mursalah tidak bisa dijadikan hujjah syar’iyah dan dalil hukum Islam. Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka, di antaranya:
a.                 Maslahah ada yang dibenarkan oleh syara’/hukum Islam, ada yang ditolak dan ada yang diperselisihkan atau tidak ditolak  dan tidak pula dibenarkan. Maslahah mursalah termasuk kategori maslahah yang diperselisihkan. Penyikapan maslahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam terhadap sesuatu yang meragukan dan megambil satu di antara dua kemungkinan tanpa disertai dalil yang mendukung.
b.                Sikap menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah menodai kesucian hukum Islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalih maslahah. Dengan cara ini akan banyak penetapan hukum Islam yang berdasarkan  atas kepentingan hawa nafsu. Sebab, dunia terus bertambah maju dan seiring dengan itu akan muncul hal-hal baru yang oleh nafsu dipandang maslahah, padahal meurut syara’ membawa mafsadah. Tegasnya, penetapan hukum Islam berdasarkan maslahah adalah penetapan hukum Islam berdasarkan hawa nafsu.
c.                 Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam, berarti secara tak langsung tidak mengakui karakter kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam itu. Artinya, hukum Islam itu belum lengkap dan sempurna masih ada yang kurang. Demikian juga memandang maslahah mursalah sebagai hujjah akan membawa dampak bagi terjadinya perbedaan hukum Islam disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Hal ini menafikan universalisme, keluasan, dan keluwesan hukum Islam.[6]

3.      Klasifikasi Kepentingan
           Menurut ulama Malikiyah, syariah berorientasi pada kemanfaatan dan mereka menitikberatkan pada keserasian dan hukum untuk memajukan kemaslahatan. Premis dasarnya adalah bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat. Mereka mengklasifikasikan kepentingan atau masalih kedalam tiga kategori:
a.      Masalih mu’tabarah atau kepentingan-kepentingan yang diakui dalam syari’ah, seperti halnya melindungi kehidupan, agama, keluarga, akal, dan kekayaan, dan ada yang menambahkan yang keenam yakni, kehormatan. Bagi mereka, inilah kpentingan-kepentingan yang dilindungi oleh pengaturan transaksi yang dibutuhkan untuk hidup, peraturan peribadatan untuk Agama, peraturan perkawinan untuk kehidupan keluarga, larangan minuman keras untuk melindungi kemampuan otak, hukuman bagi pencuri untuk melindungi kekayaan, hukuman bagi perzinahan dan fitnahan untuk melindungi kehormatan.
b.      Masalih mulgah atau kepentingan yang dibuang oleh syariah. Misalnya, cerita tentang seorang penguasa yang tidak menjalankan puasa Ramadhan. Ia menebus dosanya itu dengan membebaskan seorang budak dan membagikan derma, tetapi hakim pengadilan memberikan keputusan bahwa sang penguasa harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, karena penebusan dosa tidak ditentukan oleh besranya pengorbanan kekayaan seseorang. Ini dicela dan tidak diakui oleh syari’ah.
c.       Masalih mursalah atau kpentingan-kepentingan yang tidak terbatas dan tidak ada ketentuannya. Karena ia membicarakan kepentingan-kepentingan semacam itu yang diabaikan oleh syari’ah dan dibiarkan tanpa batasan maupun ketentuan. Problemnya adalah menentukan kepentingan-kepentingan yang tidak ada batasan  maupun ketentuan itu.  Sebagai gantinya menunjuk kepada syari’ah, ulama Mlaikiyah  bertumpu pada pemikiran mereka sendiri dan menetukan kepentingan-kepentingan ini dengan mengacu pada kemanfaatan dan fakta social yang ada yang selalu mengalami perubahan. Jadi syari’ah harus bergerak dan berubah sesuai dengan fakta-fakta social. Ia kehilangan kestabilannya dan menjadi lunak. Tujuan syaria’ah adalah untuk mengontrol kemasyarakatan, tetapi dalam persoalan ini justru ia dikontrol oleh masyarakat. [7]

4.      Perbedaan Pendapat Para Ulama
a.      Argumentasi Penolak Mashlahah Murshalah
1.      Penetapan mashlahah murshalah berpotensi mengurangi sakralitas hukum-hukum syariat. Karena mencetuskan hukum mashlahah sarat dengan konflik kepentingan dari pribadi pencetusnya, sementara garis syariat hanya merekomendasikan kemaslahatan global saja. Sehingga tidak menutup kemungkinan, dengan kedok maslahah, penggunanya terpengaruh dengan keinginan pribadi. Hal ini sebagaimana statment Imam Syafi’i
                                 i.      Barang siapa menggunakan mashlahah, sama dengan menggunakan syariat baru”
2.      Mashlahah mursalah berada pada posisi pertentangan antara penolakan syara’ pada sebagian mashlahah dan pengukuhannya pada bagian yang lain.
3.      Aplikasi mashlahah mursalah akan merusak unitas (kesatuan) dan universalitas syariat islam. Hal ini karena hukum akan berubah seiring dengan perubahan zaman, kondisi,dan pelakunya, sebab segi kemaslahatan akan senantiyasa berubahdan berkembang.
b.      Pengguna Mashlahah Murshalah
1.      Survei membuktikan bahwa dalam hukum-hukum syariat terdapat unsur kemaslahatan bagi manusia. Asumsi semacam ini akan menimbulkan dugaan kuat akan legalitas mashlahah sebagai salah satu variabel penetapan hukum. Sedangkan mengikuti dugaan kuat adalah suatu keharusan.ada ayat al qur’an yang menunjukkan hal ini

وَمَا اَرْسَلْنَأ كَ اِ لَّا رَ حْمَةًللْعَا لَميْنَ
dan tidak kamu utus Engkau Muhammad kecuali sebagai rahmad bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’:107)
2.      Perkembangan zaman yang berjalan dengan pesat. Berbagai cara mencapai kesejahteraan semakin variatif. Jika mashlahah mursalah tidak dijadikan salah satu sumber hukum, maka banyak kemaslahatan manisia terabaikan. Hukum syara’ akan mengalami staknasi, bahkan bisa memunculkan kesan bahwa syariat islam tidak relefan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan Al- Quran sudah mengklaim universalitas kandungan Al-Quran yang mampu merespon semua problematika kehidupan secara arif dan bijaksana
3.      Melihat peran kesejarahan sahabat yang banyak menggunakan mashlahah dalam kebijakan-kebijakannya.
Pro dan kontra, memperlihatkan kepada kita betapa para ulama masa lalu betul-betul hati-hati dalam merumuskan sebuah sumber hukum. Untuk itu para ulama memberikan syarat penerapan mashlahah dengan tiga syarat
Pertama, mashlahah harus selaras dengan tujuan-tujuan syariat, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan tidak menabrak garis ketentuan nash dan dalil-dalil lain.
Kedua, mashlahah harus rasional, artinya secara rasio terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penetapan hukum.
Ketiga, mashlahah harus berdimensi universal, bukan kepentingan individu dan kelompok.

5.Dasar-dasar Pemakaian Maslahah Mursalah
            Adapun dasar-dasar pemakaian maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
a.       Mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya.
b.      Menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril
c.       Sadduddzarai
d.      Perubahan zaman[8]













C.    Penutup
Kesimpulan
1.      Pengertian Mashlahah Murshalah adalah menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’.
2.      Kedudukan Mashlahah Murshalah adalah Pertama mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakkan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya. Kedua menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril. Ketiga  perubahan masa.
3.      Premis dasarnya adalah bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat. Mengklasifikasikan kepentingan atau masalih kedalam tiga kategori:
a.       Masalih mu’tabarah
b.      Masalih mulgah, dan
c.        Masalih mursalah
4.      Perbedaan pendapat para ulama memang ada dalam setiap penetapan hukum, tapi itu semua menunjukkan bahwa kehati-hatian para ulama dalam menetapkan hukum.
5.      Adapun dasar-dasar pemakaian maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
a.       Mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya.
b.      Menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril
c.       Sadduddzarai
d.      Perubahan zaman



[1] Kutbudid Aibak, Hukum Islam (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008) hal 199
[2] Kyai Sahal Mahfudh, Fiqh Sosial (Surabaya, Khalista, 2007) hal 285
[3] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm 128
[4] Kutbudid Aibak, Hukum Islam, …… hal 199
[5] Chairuman Pasaribu, Hukum perjanjian dalam islam (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), hal 36
[6] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh……………….hlm 130-134
[7] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997) hlm 129-130
[8] Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Islam, (Surabaya: Elkaf, 2006) hlm 37

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Islam masuk ke Indonesia tidak lepas dari pedagang-pedagang muslim yang masuk ke kepulauan Indonesia sambil menyebarkan agama Islam. Para saudagar atau pedagang muslim tersebut mengislamkan masyarakat pribumi dengan beberapa cara diantaranya melalui perkawinan, dakwah, kesenian, dan lain-lain. Ajaran-ajaran yang diberikan kepada masyarakat pribumi tak jarang masih menjadi kepercayaan bahkan menjadi rutinan yang dilakukan ditengah masyarakat indonesia. Banyak peninggalan-peninggalan dari perjuangan penyebar agama islam di Indonesia yang masih digunakan dalam berbagai bidang oleh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu pemakalah memberikan penjelasan tentang Sejarah Masuknya Islam di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana masuknya Islam di Indoneesia ?
2.      Bagaimana kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ?
3.      Bagaimana saluran atau cara-cara Islamisasi di Indonesia ?
C.    Tujuan
1.      Untuk memahami proses masuknya Islam di Indonesia
2.      Untuk mengetahui kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
3.      Untuk mengetahui saluran atau cara-cara Islamisasi di Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN
A.              Islam Masuk di Indonesia
          Sejak zaman prasejarah, pendudduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan  antara kepulauan Indonesia dengan beerbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik  bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara China dan India.
          Pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 (abad I H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timor Tengah Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511), merupakan pusat utama lalau-lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawa ke China dan India, terutama Gujarat, yang melakukan hubungan dagang langsung dengna Malaka pada waktu itu.
           Menurut J.C van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur terkenal. Dari berita China bisa diketahui bahwa di masa Dinasti Tang (abad ke 9-10) orang-orang Ta-Shih sudah ada di Kanton (Kan-fu) dan Sumatera. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat Internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kerajaan-kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian baratdan kerajaan China zaman dinasti Tang di Asia bagian timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
           Baru pada zaman-zaman breikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad 13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) tahun 475 H (1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit.
           Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. (2) Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia . (3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[1]
     Menurut kesimpulan “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963, Islam masuk ke Indonesia sudah semenjak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 M.
            “Seminar Masuknya Islam di Indonesia” tersebut menghasilkan keputusan sebagai berikut.
1.      Menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad ke-7 Masehi) dan langsung dari Arab.
2.      Daerah yang pertama di datangi oleh Islam adalah pesisir Sumatra, dan bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.
3.      Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian.
4.      Mubaligh-mubaligh Islam yang pertama-tama itu selain sebagai penyiar Islam juga sebagai saudagar.
5.      Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai.
6.      Kedatangan Islam ke Indonesia, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.
Harry W. Hazard, dalam Atlas of Islamic History, menulis bahwa:
The first moslem to visit Indonesian were presumably seventh century Arab trades who stopped at Sumatra an route to Cina. Their successor were merchant from Gujarat the delat in pepper, and who had by 1100 established the unique combination of commercial and proselytizing which characterized the appeared of Islam Indonesia.
Orang Islam pertama mengunjungi Indonesia kemungkinan besas adalah saudagar Arab pada abad ke-7 yang singgah di Sumatera dalam perjalanan menuju ke China. Menyusul mereka adalah saudgaar dari Gujarat yang berdagang lada dan yang telah membangun sejak tahun 1100 percampuran yang unik antara perdagangan dengan usaha mengembangkan Islam di Indonesia.
            Menurut hemat penulis, pendapat yang megatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertaam hijriyah (abad ke-7 M), dan langsung  dari Arab, itu lebih kuat, mengingat beberapa alas an telah dikemukakan di atas. Bahkan dimungkinkan bahwa sejak sejak masa hidup Nabi Muhammad SAW agama Islam telah masuk ke daerah Nusantara. Menurut literature kuno Tiongkok, sekitar tahun tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatra (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rosululloh SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatra sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatra. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan ysnsg berbeda dari agama resmi kerajaan perkampungan Arab Islam tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkanoleh penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik terlebih dahulu kepada penguasa hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar. Di samping itu, menambah populasi muslim di wilayah yang sama, yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran ddengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka para pedagang Arab Islam ini bisa mendirikan sebuah kampong di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
           Adapun perkembangan selanjutnya, Islam berkembang secara lebih besar pada abad ke-12 M yang dibawa oleh para mubaligh Islam, yang disamping menyebarkan Islam, mereka juga sebagai saudagar. Adapun pada periode ini Islam dikembangkan oleh saudagar dari Arab dan mungkin saudagar dari Gujarat serta pendudduk pribumi sendiri.
           Sejak Islam dikenal itulah, Islam terus berkembang dengan pesat. Menurut para sejarawan, Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai jalur, sehingga dengan cepat diterima oleh masyarakat Indonesia yang saat itu masih kuat menganut paham lama, yatu menganut Hindu, Budha, bahkan Animisme dan Dinamisme.[2]
           Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses Islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang sangat pelik dan panjang. Diterimanya Islam oleh penduduk  pribumi secara bertahap membuat Islam terintegrasi dengan tradisi, norma, dan cara hidup keseharian penduduk local. Hal ini, menurut Andi Faisal Bakti, menunjukan bahwa bangsa Indonesia mudah menerima nilai-nilai dari luar dan menjadi bhakti akan keterbukaan sikap mereka. Sikap ini pada gilirannya telah ikut membentuk komunitas-komunitas Muslim di daerah pesisir yang pada mulanya sebagai tempat interaksi antara penduduk local dengan bangsa-bangsa asing, seperti Arab, Persia, India, China, dan sebagainya. Salah satu bukti kehadiran bangsa-bangsa asing ini adalah adanya perkampungan yang disebut Pokajan dan Pachinan di beberapa tempat di Indonesia. Komunitas bumi yang telah terintegrasi ke dalam Islam, selanjutnya terlembagakan secara politis  dalam bentuk negara-negara Islam di kawasan ini sejak masa yang paling awal.[3]
B.              Kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
          Cikal bakal kekuasaan Islam dirintis sejak abad ke-7 dan ke-8 M, semuanya tenggelam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di  Jawa Timur pada periode ini para pedagang dan mubaligh. Muslim membentuk komunitas-komunitas islam. Mereka memperkenalkan Islam yang mengajarkan slam toleransi dan persamaan derajad diantara sesama. Sementara ajaran hindu Jawa menekankan perbedaan derajad manusia. Ajaran Islam ini sangat menarik perhatian penduduk setempat. Oleh karena itu Islam cepat tersebar di kepulaun Indonesia meski penyebarannya dengan cara damai. 
          Masuknya Islam kedaerah- daerah Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Datangnya orang-orang Islam ke daerah-daerah yang baru disinggahi sama sekali belum memperlihatkan dampak politik karena pada awalnya mereka datang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan.
          Akhir abad ke-2 M, kerajaan Sriwijaya mulai memasuki masa kemunduran dibidang politik dan ekonomi, yang dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan oleh pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan politk dan perdagangan.
          Karena kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di istana, kerajaan di Singsari dan Majapahit, tidak mampu mengontrol daerah melayu dan selat malaka dengan baik. Sehingga samudra pasai dan malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaannya hingga abad ke 16 M.
          Demikian pula kerajaan majapahit ketika hayam wuruk dengan patih gajah mada masih berkuasa, situasi politik pusat nusantara mengakui dibawah perlindungannya. Tetapi sejak gajah mada meninggal dunia pada tahun 1364 M dan disusul hayam wuruk tahun 1389 M situasi majapahit mengalami keguncangan yang akhirnya menyebabkan kerjaan majapahit melemah.
          Akhirnya kerjaan Sriwijaya, Singasari, dan Majapahit semakin melemah dan tidak memiliki kekuatan yang berarti. Demikian sejarah situasi nya ketika Islam pertama kali datang ke wilayah Indonesia pada sekitar abad ke-7 M.
          Tidak lama kemudian muncul beberapa kerjaan Islam yang juga bersama dengan pengembangan agama Islam di Indonesia, yaitu kerjaan Samudra Pasai (abad ke 13 M)
Di Aceh. Kemudian diteruskan kerjaan Aceh Darusalam (abad ke 15M).[4]
     
C.              Saluran atau Cara-cara Islamisasi di Indonesia
          Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Indonesia memerlukan proses yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Islamisasi yang beragam, seperti perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan, dan kesenian. Pada tahap awal Islamisasi, saluran perdagangan sangat dimungkinkan. Hal ini sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad ke-16. Para pedagang dari Arab, Persia, India, dan China ikut ambil bagian dalam aktivitas perdagangan dengan masyarakat di Asia: Barat, Timur, dan Tenggara.[5]
          Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
1.                Saluran Perdangan
          Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu  lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. Membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, dan Indonesia) turut mabil bagian dalam perdagangan dri  negeri-negeri bagian barat, tenggara, Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui perdagangan ini di pesisir pulau Jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai Bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya factor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena factor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangandan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
2.                Saluran Perkawinan
          Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status social yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu Sebelum kawin mereka di Islamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akibatnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan Muslim. Apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, Karena raja, adipati, atau bangsawan itu kemudian mempercepat proses islamisasi. Demikian yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang meurunkan Radeb Patah (raja pertama Demak), dan lain-lain.
3.                Saluran Tasawuf
          Pengajar-pengajar tasawuf atatu para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekauatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, bentuk Islam diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Inodnesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fnasuri di Ace, Syaikh Lemah Abang, dan Sunan Pnaggung di Jawa.
4.                Saluran Pendidikan
          Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapatkan pendidikan agama.     Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri.
5.                Saluran Kesenian
          Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Di katakana, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukna, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni bangunan, dan seni ukir.
6.                Saluran Politik
          Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[6]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Diterimanya Islam oleh penduduk  pribumi secara bertahap membuat Islam terintegrasi dengan tradisi, norma, dan cara hidup keseharian penduduk local. Hal ini menunjukan bahwa bangsa Indonesia mudah menerima nilai-nilai dari luar dan menjadi bhakti akan keterbukaan sikap mereka. Sikap ini pada gilirannya telah ikut membentuk komunitas-komunitas Muslim di daerah pesisir yang pada mulanya sebagai tempat interaksi antara penduduk local dengan bangsa-bangsa asing, seperti Arab, Persia, India, China, dan sebagainya. Salah satu bukti kehadiran bangsa-bangsa asing ini adalah adanya perkampungan yang disebut Pokajan dan Pachinan di beberapa tempat di Indonesia.
2.    Masuknya Islam kedaerah-daerah Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Datangnya orang-orang Islam ke daerah-daerah yang baru disinggahi sama sekali belum memperlihatkan dampak politik karena pada awalnya mereka datang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan.
3.    Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Indonesia memerlukan proses yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Islamisasi yang beragam, seperti perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan, dan kesenian.
B.     Saran
          Penyusun sangat menyadari bahwa didalam menyusun makalah ini masih terdapat banyak kekurangan., dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menyarankan kepada semua pihak pembaca dan pembahas makalah ini, agar dapat menambah literature-literature supaya dapat menambah pengetahuan-pengetahuan kita terhadap mata kuliah Sejarah Perdaban Islam. Kritik dan saran bersifat membangun sangat kami harapkan demi baiknya makalah ini dikemudian hari.


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008) hlm 191-193
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta:Amzah,2015) hlm.303-306
[3] Nor Huda, Islam Nusantara, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2013) hlm 44
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hlm.309-310
[5] Nor Huda, Islam Nusantara, hlm 44
[6] Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam,  hlm 200-204