Rabu, 09 September 2015

Maslahah Mursalah



A.    Pendahuluan
Latar Belakang
       Perubahan dalam kuasa atau kebiasaan tidak dapat mengubah hukum. Apa yang tampak berubah dalam hukum hanyalah penyimpangan darinya karena ada kebutuhan dalam sikap, Ibn Taimiyah yang memaafkan orang Tartar meneguk minuman keras, Karena situasi semacam itu memerlukan menuntut ketepatan semacam itu. Penyimpangan-penyimpangan semacam itu tampak sebagai perubahan-perubahan tetapi pada kenyataanya penyimpangan-penyimpangan itu tidak mengubah hukum, karena hukum yang eternal dan untuk sepanjang masa tidak bisa berubah tetapi tetap sama dan bisa diaplikasikan jika situasi berubah atau perrsoalan-persoalan kembali ke posisi sebelumnya atau posisi semula atau situasi yang baru muncul yang menghendaki penerapan hukum yang sama. Oleh karena itu kami akan membahas Pengertian dan Kedudukan Maslahah Mursalah agar kita dapat memahami tentang maslahah mursalah itu sendiri.









B.     Pembahasan
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat maushuf , atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah.[1] Tentang arti mashlahah secara etimologi adalah setiap sesuatu yang menimbulkan suatu perbuatan, berupa hal-hal baik sedangkan secara terminologi menurut imam ghazali mashlahah sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kemanfaatan dan menanggulangi kerusakan.[2] sedangkan dalam kamus besar dikatakan bahwa maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, guna. Sedangkan kata “kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata “manfaat”, dalam kamus tersebut diartikan dengan: guna, faedah. Kata “manfaat” juga diartikan  sebagai kebalikan/lawan kata “mudarat”yang berate rugi atau buruk.[3]
Al – mursalah adalah isim maf’ul atau objek dari fiil madhi atau kata dasar dalam bentuk tsusasi atau kata dasar yang tiga huruf, yaitu ر سل  , dengan penambahan huruf alif di pangkalnya, sehingga menjadi ا ر سل  . secara etmologi atau bahasa artinya terlepas atau dalam arti مطلقة atau bebas. Kata terlepas dan bebas disini bisa berhubungan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak nya dilakukan.[4]
Pengertian mashlahah mursalah adalah menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’.

2.      Kedudukan Maslahah Mursalah
     Adapun kedudukan mashlahah mursalah adalah sebagai sumber hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu permasalahan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’. Adapun dasar pemakaian mashlahah adalah; Pertama mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakkan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya. Kedua menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril. Ketiga  perubahan masa.[5]
Kalangan ulama Malikiyah dan Hanfiyyah berpendapat bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dallil hukum Islam. Ada beberapa argumen yang dikemukakan dianatranya:
a.       Adanya perintah Al-Qur’an (QS. An-Nisa’(4):59)agar mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa perselisihan itu terjadi karena itu merupakan masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Untuk memecahkan masalah semacam itu, selain dapt ditempuh lewat metode qiyas, tentu dapt ditempuh lewat metode lain seperti istislah.
b.      Hadits Mu’adz bin Jabal. Dalam hadis, Rosululloh membenarkan dan memberi restu kapada Mu’adz untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang perlu diputuskan hukumnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa dalam berijtihad  banyak metode yang bisa dipergunakan. Diantaranya dengan metode qiyas , apabila kasus yang dihadapi ada percontohannya yang dihukumnya telah ditegaskan oleh nash syara’ lantaran ada illah yang mempertemukan.
c.       Tujuan pokok penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
d.      Di zaman sahabat banyak muncul masalah baru yang belum pernah terjadi pada zaman Rasullullah. Untuk mengatasi hal ini, sahabat banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah mursalah. Cara dan tindakan semacam ini sudah menjadi konsesus para sahabat
Kalangan ulama Syafi’iyah dan ulama Hanbilah berpandangan bahwa maslahah mursalah tidak bisa dijadikan hujjah syar’iyah dan dalil hukum Islam. Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka, di antaranya:
a.                 Maslahah ada yang dibenarkan oleh syara’/hukum Islam, ada yang ditolak dan ada yang diperselisihkan atau tidak ditolak  dan tidak pula dibenarkan. Maslahah mursalah termasuk kategori maslahah yang diperselisihkan. Penyikapan maslahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam terhadap sesuatu yang meragukan dan megambil satu di antara dua kemungkinan tanpa disertai dalil yang mendukung.
b.                Sikap menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah menodai kesucian hukum Islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalih maslahah. Dengan cara ini akan banyak penetapan hukum Islam yang berdasarkan  atas kepentingan hawa nafsu. Sebab, dunia terus bertambah maju dan seiring dengan itu akan muncul hal-hal baru yang oleh nafsu dipandang maslahah, padahal meurut syara’ membawa mafsadah. Tegasnya, penetapan hukum Islam berdasarkan maslahah adalah penetapan hukum Islam berdasarkan hawa nafsu.
c.                 Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam, berarti secara tak langsung tidak mengakui karakter kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam itu. Artinya, hukum Islam itu belum lengkap dan sempurna masih ada yang kurang. Demikian juga memandang maslahah mursalah sebagai hujjah akan membawa dampak bagi terjadinya perbedaan hukum Islam disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Hal ini menafikan universalisme, keluasan, dan keluwesan hukum Islam.[6]

3.      Klasifikasi Kepentingan
           Menurut ulama Malikiyah, syariah berorientasi pada kemanfaatan dan mereka menitikberatkan pada keserasian dan hukum untuk memajukan kemaslahatan. Premis dasarnya adalah bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat. Mereka mengklasifikasikan kepentingan atau masalih kedalam tiga kategori:
a.      Masalih mu’tabarah atau kepentingan-kepentingan yang diakui dalam syari’ah, seperti halnya melindungi kehidupan, agama, keluarga, akal, dan kekayaan, dan ada yang menambahkan yang keenam yakni, kehormatan. Bagi mereka, inilah kpentingan-kepentingan yang dilindungi oleh pengaturan transaksi yang dibutuhkan untuk hidup, peraturan peribadatan untuk Agama, peraturan perkawinan untuk kehidupan keluarga, larangan minuman keras untuk melindungi kemampuan otak, hukuman bagi pencuri untuk melindungi kekayaan, hukuman bagi perzinahan dan fitnahan untuk melindungi kehormatan.
b.      Masalih mulgah atau kepentingan yang dibuang oleh syariah. Misalnya, cerita tentang seorang penguasa yang tidak menjalankan puasa Ramadhan. Ia menebus dosanya itu dengan membebaskan seorang budak dan membagikan derma, tetapi hakim pengadilan memberikan keputusan bahwa sang penguasa harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, karena penebusan dosa tidak ditentukan oleh besranya pengorbanan kekayaan seseorang. Ini dicela dan tidak diakui oleh syari’ah.
c.       Masalih mursalah atau kpentingan-kepentingan yang tidak terbatas dan tidak ada ketentuannya. Karena ia membicarakan kepentingan-kepentingan semacam itu yang diabaikan oleh syari’ah dan dibiarkan tanpa batasan maupun ketentuan. Problemnya adalah menentukan kepentingan-kepentingan yang tidak ada batasan  maupun ketentuan itu.  Sebagai gantinya menunjuk kepada syari’ah, ulama Mlaikiyah  bertumpu pada pemikiran mereka sendiri dan menetukan kepentingan-kepentingan ini dengan mengacu pada kemanfaatan dan fakta social yang ada yang selalu mengalami perubahan. Jadi syari’ah harus bergerak dan berubah sesuai dengan fakta-fakta social. Ia kehilangan kestabilannya dan menjadi lunak. Tujuan syaria’ah adalah untuk mengontrol kemasyarakatan, tetapi dalam persoalan ini justru ia dikontrol oleh masyarakat. [7]

4.      Perbedaan Pendapat Para Ulama
a.      Argumentasi Penolak Mashlahah Murshalah
1.      Penetapan mashlahah murshalah berpotensi mengurangi sakralitas hukum-hukum syariat. Karena mencetuskan hukum mashlahah sarat dengan konflik kepentingan dari pribadi pencetusnya, sementara garis syariat hanya merekomendasikan kemaslahatan global saja. Sehingga tidak menutup kemungkinan, dengan kedok maslahah, penggunanya terpengaruh dengan keinginan pribadi. Hal ini sebagaimana statment Imam Syafi’i
                                 i.      Barang siapa menggunakan mashlahah, sama dengan menggunakan syariat baru”
2.      Mashlahah mursalah berada pada posisi pertentangan antara penolakan syara’ pada sebagian mashlahah dan pengukuhannya pada bagian yang lain.
3.      Aplikasi mashlahah mursalah akan merusak unitas (kesatuan) dan universalitas syariat islam. Hal ini karena hukum akan berubah seiring dengan perubahan zaman, kondisi,dan pelakunya, sebab segi kemaslahatan akan senantiyasa berubahdan berkembang.
b.      Pengguna Mashlahah Murshalah
1.      Survei membuktikan bahwa dalam hukum-hukum syariat terdapat unsur kemaslahatan bagi manusia. Asumsi semacam ini akan menimbulkan dugaan kuat akan legalitas mashlahah sebagai salah satu variabel penetapan hukum. Sedangkan mengikuti dugaan kuat adalah suatu keharusan.ada ayat al qur’an yang menunjukkan hal ini

وَمَا اَرْسَلْنَأ كَ اِ لَّا رَ حْمَةًللْعَا لَميْنَ
dan tidak kamu utus Engkau Muhammad kecuali sebagai rahmad bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’:107)
2.      Perkembangan zaman yang berjalan dengan pesat. Berbagai cara mencapai kesejahteraan semakin variatif. Jika mashlahah mursalah tidak dijadikan salah satu sumber hukum, maka banyak kemaslahatan manisia terabaikan. Hukum syara’ akan mengalami staknasi, bahkan bisa memunculkan kesan bahwa syariat islam tidak relefan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan Al- Quran sudah mengklaim universalitas kandungan Al-Quran yang mampu merespon semua problematika kehidupan secara arif dan bijaksana
3.      Melihat peran kesejarahan sahabat yang banyak menggunakan mashlahah dalam kebijakan-kebijakannya.
Pro dan kontra, memperlihatkan kepada kita betapa para ulama masa lalu betul-betul hati-hati dalam merumuskan sebuah sumber hukum. Untuk itu para ulama memberikan syarat penerapan mashlahah dengan tiga syarat
Pertama, mashlahah harus selaras dengan tujuan-tujuan syariat, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan tidak menabrak garis ketentuan nash dan dalil-dalil lain.
Kedua, mashlahah harus rasional, artinya secara rasio terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penetapan hukum.
Ketiga, mashlahah harus berdimensi universal, bukan kepentingan individu dan kelompok.

5.Dasar-dasar Pemakaian Maslahah Mursalah
            Adapun dasar-dasar pemakaian maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
a.       Mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya.
b.      Menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril
c.       Sadduddzarai
d.      Perubahan zaman[8]













C.    Penutup
Kesimpulan
1.      Pengertian Mashlahah Murshalah adalah menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’.
2.      Kedudukan Mashlahah Murshalah adalah Pertama mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakkan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya. Kedua menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril. Ketiga  perubahan masa.
3.      Premis dasarnya adalah bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat. Mengklasifikasikan kepentingan atau masalih kedalam tiga kategori:
a.       Masalih mu’tabarah
b.      Masalih mulgah, dan
c.        Masalih mursalah
4.      Perbedaan pendapat para ulama memang ada dalam setiap penetapan hukum, tapi itu semua menunjukkan bahwa kehati-hatian para ulama dalam menetapkan hukum.
5.      Adapun dasar-dasar pemakaian maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
a.       Mewujudkan kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya.
b.      Menghindarkan keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril
c.       Sadduddzarai
d.      Perubahan zaman



[1] Kutbudid Aibak, Hukum Islam (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008) hal 199
[2] Kyai Sahal Mahfudh, Fiqh Sosial (Surabaya, Khalista, 2007) hal 285
[3] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm 128
[4] Kutbudid Aibak, Hukum Islam, …… hal 199
[5] Chairuman Pasaribu, Hukum perjanjian dalam islam (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), hal 36
[6] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh……………….hlm 130-134
[7] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997) hlm 129-130
[8] Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Islam, (Surabaya: Elkaf, 2006) hlm 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar