Rabu, 09 September 2015

Hukum Bagi Hasil dan Riba



A.  PENDAHULUAN
Dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang. Oleh karena itu tidak mengherankan bila beberapa cendekiawan dan ekonom melihat bahwa Islam dengan tatanan dan sistem normatifnya sebagai faktor penghambat pembangunan. Asumsi diatas adalah salah total. Terbukti dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia serta resesi dan ketidakseimbangan ekonomi global. Sebagian para ekonom beranggapan bahwa sistem ekonomi pada transaksi syari’ah dan konvensional tidak ada perbedaan. Pada bab ini pemakalah akan menyajikan dua diantara beberapa transaksi yang berbasis Islam. Yaitu hukum bagi hasil dan riba, yang merupakan suatu teori yang mampu membuktikan bahwa ada perbedaan antara sistem bagi hasil dan sistem bunga pada bank konvensional, serta hukum dari bagi hasil itu sendiri dan riba dari suatu transaksi.
B.  PEMBAHASAN
1.    Hukum Bagi Hasil
Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-Musyarakah, al-Mudharabah, al-Muzaraah dan al-Musaqah. Namun prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-Musyarakah dan al-Mudharabah, sedangkan al-Muzaraah dan al-Musaqah digunakan untuk pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam.
a.       Al-Musyarakah
1)      Pengertian al-Musyarakah
Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antaradua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dari resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[1]
2)      Landasan Syari’ah
·      Al-Qur’an
... فَهُمْ شُرَ كَاءُ فِى الُّثلُثِ...
... maka mereka berserikat pada sepertiga... (QS an-Nisaa’:12)

وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّأ اَّلذِيْنَ ءَامَنُوْاوَعَمِلُو
االصَّلِحَتِ
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh. (QS Shaad:24).

Kedua ayat diatas menunjukkan perkenaan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dala QS an-Nisa’:12 perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam QS Shaad:24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari).
·      Al-Hadits
{ عَنْ أَبِي هُر يْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ اِنَ للهَ يَقُوْلُ أَنَا ثَا لِثُ الشَّرِ يْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُ هُمَا صَا حِبَهُ }
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satu tidak mengkhianati lainnya”. (HR Abu Dawud dalam kitab al-Buyu, dan Hakim).
·      Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsekuensi terhadap legitimasi musyarakah secara global meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
3)      Jenis-jenis al-Musyarakah
Ada dua jenis al-Musyarakah, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemikiran satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi al-‘inan, al-mufawadhah, al-a’maal, al-wujuh, dan al-mudharabah.
·      Syirkah al-Inan ( شركة العنان)  adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
·      Syirkah Mufawadah (( شركة المفاوضة adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
·      Syirkah A’maal (( شركة الأعمال adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan tersebut. Misalnya, kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam.
·      Syirkah Wujuh ( شركة الوجوه) adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dan menjual barang secara tunai, berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-Musyarakah ini tidak memerlukan modal dan lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
·      Syirkah Mudharabah.[2]
b.      Al-Mudharabah
1)      Pengertian al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah akad kerjasama antara usaha dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
2)      Landasan Syari’ah
Secara umum, landasan dasar syari’ah al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.
·      Al-Qur’an
... وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُو نَ فِى آلْأَرْضِيَبْتَغُوْ نَ مِنْ فَضْلِ أللهِ...
... dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT... (Al-Muzzamil:20).
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari QS al-Muzzamil:20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan.

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوَةُ فَا نْتَشِرُوافِى اْلأرْضِوَابْتَغُوْا مِنْ فِضْلِاللهِ ...
Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT... (QS al-Jumuah:10).



·      Al-Hadits
{ رَوَ ى بْنُ عَبَّاسُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّهُ قَالَ : كَانَ سَيِّدِنَا العَبَّاسُ بِنْ عَبدِالْمُطَلِّبْ إذَا دَفَعَ اْلمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلىَصَا حِبِهِ  أَنْ لَايَسْلُكُ بِهِ بَحْرًا وَلَا يَنْزِلُ بِهِ وَاَدِياً وَلاَ يَشْتَرِى بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبَدِ رَ طْبَةٍ فَإٍ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمَنَ فَبَلَغَ شُرْ طَهُ رَسُولَ اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ }

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengerungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR Thabrani).
{ عَنْ صَالِحِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُو لُالله عَلَيهِ وَسَلَّمَ ثَلاَ ثٌ فِيهِنَّ الْبَرَ كَةُ الْبَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلاَ طُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ لا لِلْبَيْعِ }

Dari Shalih bin Shuhaib ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jualbeli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”.(HR Ibnu Majjah, kitab at-Tijarah).
3)      Jenis-jenis al-Mudharabah
·      Mudharabah Mutlaqah, adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cangkupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan derah bisnis.
·      Mudharabah Muqayyadah, adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqah, mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.[3]
4)      Berakhirnya akad al-Mudharabah
Menurut Wahbah az-Zuhaili, akad mudharabah menjadi batal apabila:
·      Salah satu syarat sah mudhabah tidak terpenuhi
·      Pekerja melampaui batas atau ceroboh dalam memlihara atau menjaga harta dan menghilangkan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini, pengelola modal  harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kecerobohannya itu.
·      Pekerja atau pemilik modal meninggal dunia. Apabila pemilik modal meninggal dunia, pengelola tidak berhak mempergunakan modal itu lagi kecuali dengan izin ahli waris pemilik modal. Tetapi menurut ulama Malikiyah, bahwa akad mudharabah tidak menjadi batal dengan meninggalnya salah satu pihak.[4]
c.       Al-Muzara’ah
1)      Pengertian al-Muzara’ah
Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan pengelola lahan, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada pengelola untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen.
2)      Landasan Syari’ah
·      Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (ketika mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio Bgi hasil 1/3 : 2/3, ¼ : ¾, ½: ½, maka Rasulullah pun bersabda, hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.
·      Ijma’
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Dan hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dak keluarga Ali”.[5]
d.      Al-Musaqah
1)      Pengertian al-Musaqah
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
2)      Landasan Syari’ah
·      Al-Hadits
Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh preentase tertentu dari hasil panen.
·      Ijma’
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib ra. bahwa Rasulullah saw. telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Ha ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukam oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorang pun yang menyanggahnya.[6]

2.    Hukum Riba
a.    Definisi Riba
Riba (( الربا menurut pengertian bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al’uluw).[7] Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[8]
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan riba, dalam hal ini Imam Shrakhi  dalam kitab Al-Mabsut menyebutkan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambanhan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwad yang dibenarkan syari’at atas penambahan tersebut. Sementara Badr ad-Dien al-Ayni dalam kitab Umdatul Qari mengatak bahwa tambahan yang termasuk riba adalah tambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah, yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak . demikian juga menurut Ibn Hajar Askalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk barang mmaupun uang.
Beberapa perbedaan definisi riba dikalangan ulama ini lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing ulama mengenai riba didalam konteks hidupnya. Sehingga, meskipun terdapat perbedaan dalam pendefinisiannya, tetapi subtansi dari definisi ttersebut sama. Secara umum ekonom muslim tersebut menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.[9]
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْا أَمْوَلَكٌمْ بَيْنَكُمْ بِا اْلبَطِلِ...
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.... (an Nisaa’:29)
Dalam kaitannya dengan pengertian al-batil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an menjelaskan:
( والربا في اللغة هو الزيادة والمراد به في الاية كل زيادة لم يقا بلها عوض )
Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa, penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan oleh penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menururn jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, pemberi pinjaman memberi tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan jika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung atau rugi.[10]

b.    Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
1)      Al-Qur’an
Al-Qur’an telah memberikan pelajaran mengenai perilaku yang baik untuk menerima pengembalian pinjaman dalam bentuk jumlah tetap sama dengan nilai pokok yang dipinjamkan, serta mengajarkan untuk meringankan dan bahkan membebaskan seluruh beban hutang debitur, jika pihak yang memberi pinjaman (kreditur) mampu untuk melakukannya. Dalam al-Qur’an dijelaskan: “lebih baik bagimu jika membebaskan sebagian atau semua hutang sebagai sedekah”.(QS. Al-Baqarah:280).[11]
·  QS Ar-Ruum[30] :39
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِّنْ رَّبًا لِّيَرْبُوَا فِيْ أَمْوَالِ النَّاسِ فّلَا يَرْبُوْا عِنْدَ اللهِ وَمَا ءَا تَيْتُمْ مِّنْ زَكَوَةً تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلَئِكَهُمُ اْلمُضْعِفُوْنَ ۝
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS Ar-Ruum[30]:39).[12]

·         QS An-Nisaa’[4]:161
Tahap kedua, digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.[13]
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِ ينَ هَادوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَا تٍ أَحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللّهِ كَثِيرًا  ۝ وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْنُهُوا عَنهُ وَ أَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِ البَاطِل وَ أَعْتَدْنَا لِلْكَا فِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًاأَ لِيْمًا ۝
Tafsir Jalalain
160. فَبِظُلْمٍ(maka karena keaniayaan) artinya disebabkan keaniayaan
مِنَ الَّذِ ينَ هَادوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَا تٍ أَحِلَّتْ لَهُمْ  (dari orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka makanan yang dihalalkan bagi mereka dulu) yakni yang tersebut dalam firman-Nya swt “Kami haramkan yang berkuku..”. – وَبِصَدِّهِمْ(juga karena mereka menghalangi) manusia عَنْ سَبِيلِ اللّهِ(dari jalan Allah) maksudnya agama-Nya – كَثِيرًا(banyak).
161. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْنُهُوا عَنهُ (Dan karena memakan riba padahal telah dilarang daripadanya)dalam taurat - وَ أَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِ البَاطِل(dan memakan harta orang dengan jalan bathil) dengan memeberi suap dalam pengadilan, - وَ أَعْتَدْنَا لِلْكَا فِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًاأَ لِيْمًا(dan telah Kamisediakan untuk orang-orang kafir itu siksa yang pedih) atau menyakitkan.[14]

            Asbabun Nuzul
Ayat ini adalah ayat Madaniyyah, yaitu diturunkan dikota Madinah. Ayat ini merupakan kisah tentang orang-orang Yahudi. Allah swt mengharamkan kepada mereka riba akan tetapi mereka tetap mengerjakan perbuatan ini.

Kandungan Ayat
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa riba adalah perbuatan yang menyebabkan atau mengakibatkan kedzaliman dan aniaya sehingga Allah SWT melarang dan menyiapkan tenpat yang sesuai untuk orang—orang yang melakukan riba. Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa riba adalah perbuatan yang bathil dan aka nada siksa yang pedih apabila ada orang yang melakukannya.
·         QS ‘Imran[3] :130
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.[15]

يَآيَّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْاالاَتَأْ كُلُوالرِّبوآاَعَفًا مُضَفَةًصلىوَّاتَّقُواللّه لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَج۝
Tafsir Jalalain
            يَآيَّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْاالاَتَأْ كُلُوالرِّبوآاَعَفًا مُضَفَةًصلى(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda) maksudnya ialah memberikan tambahan pada harta yang bukan menjadi haknya. Dengan adanya tambahan tersebut maka riba diharamkan.- وَّاتَّقُواللّه(dan bertakwalah kamu kepada Allah) dengan menghindarinya - ل َعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَج (supaya kamu memperoleh keberuntungan) atau hadil yang gemilang.[16]

Asbabun Nuzul
Termasuk dalam ayat Madaniyyah, yang diturunkan di Madinah. Menjelaskan tentang kebiasaan orang arab yang sering mengambil riba. Kebiasaan suka Tsaqif yang biasa berhutang kepada Bani Nadhir di masa jahiliyah, maka jika telah jatuh temponya mereka tambah harganya dan perpanjangan waktunya. Maka turunlah ayat ini.[17] Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jika bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jika bunga kecil bukan tergolong riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.[18]

Kandungan Ayat
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa melakukan riba adalah haram dan dilarang. Serta merupakan perintah untuk taat kepada Allah swtriba diharamkan karena merupakan suatu tambahan yang berlipat ganda. Dan jika dalam kurun waktu yang tentukan belum juga bisa membayar maka akan semakin bertambah, maka semakin tidak mampu dan semakin teraniaya.



·         QS Al-Baqarah[2] : 278-279
Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan mengenai riba.[19]

يَآيَّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اتَّقُوااللّهَ وَذَرُوْا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبواانْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۝ فَاِنْلَّمْءتَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْابِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهجوَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَلِكُمْجلاَتَظْلِمُوْنَ وَلاَتُظْلَمُونَ۝
Tafsir Jalalain
278.  يَآيَّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اتَّقُوااللّهَ وَذَرُوْا(Hai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah) maksudnya jauhilah - مَابَقِيَ مِنَ الرِّبواانْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ(sisa yang tinggal dari riba, jika kamu beriman) dengan sebenarnya, karena sifat atau ciri-ciri orang beriman adalah mengikuti perintah Allah Ta’ala.
279. فَاِنْلَّمْءتَفْعَلُوْا(jika kamu tak mau melakukannya) yakni apa yang diperintahkan itu, - فَأْذَنُوْا(maka ketahuilah) datangnya - بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ(serbuan dari Allah dan Rasul-Nya) terhadapmu. Ayat ini berisi tentang ancaman keras kepada mereka, hingga ketika ia turun, mereka mengatakan “tidak ada daya kita untuk mengatasi serbuan itu!” –
وَاِنْ تُبْتُم(dan jika kamu bertobat) artinya menghentikannya, -
فَلَكُمْ رُءُوْسُ(maka bagi kamu pokok) atau modal - اَمْوَلِكُمْجلاَتَظْلِمُوْنَ(hartamu, hingga kamu tidak menganiaya) dengan mengambil tambahan وَلاَتُظْلَمُونَ (dan tidak pula teraniaya) dengan menerima jumlah yang kurang.

Asbabun Nuzul
Termasuk ayat Madaniyyah, kecuali ayat 281 turun di Mina sewaktu Haji Wada’. Ayat ini turun karena Bani Amr bin Auf dari suka Tsaqif dan Bani Mughirah. Bani Mughirah memeberikan bunga uang kepada Tsaqif. Tatkala Makkah dikuasakan Allah kepada Rasulullah, maka ketika itu seluruh riba dihapuskan. Maka datanglah Bani Amr dan Bani Mughirah kepada Atab Ibnu Usaid yang ketika itu menjadi pemimpin muslimin di Makkah. Kata Bani Mughirah: “Tidakkah kami dijadikan secelaka-celaka manusia mengenai riba, karena terhadap seluruh manusia dihapuskan, tetapi pada kami tidak?” Jawab Bani Amr :dalam perjanjian damai diantara kami disebutkan bahwa kami tetap memperoleh riba kami”. Atab pun mengirim surat kepada Nabi saw mengenai hal itu, maka turunlah ayat ini.[20]
2)      Hadits
Di antara litertaur hadits yang menerangkan tentang praktek riba pada masa pra-Islam yang telah dijelakan oleh nabi sangat sedikit. Dalam salah satu sabdanya nabi mengatakan: bahwa “semua bentuk (transaksi) riba pada masa pra-Islam adalah batal dan tidak berlaku.[21]
( أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيَّ رَضِيَ الله عَنْهم قَالَ جَاءَ بِلَالٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلالٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَا عَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبيّ صَلَّى الله عليه وَ سَلَّم فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَ لَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعِ التَّمْرَ بِبَيْعٍ اَخَرَ ثُمَّ اْشتَرِهِ )
Dari Abu Said ra pada suatu hari Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah saw bertanya kepadanya: “Kurma siapa ini?”, jawab Bilal “Kurma kita rendah mutunya, karena itu kutukar dua gantung dengan satu gantung kurma ini untuk makan Nabi saw”. maka bersabda Rasulullah saw, “Inilah disebut riba jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus”. (HR Muslim dan Ahmad, dalam kitab al-Wakalah).

( عَن أبي سعيد الخدري قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الذّهب با لذّهب والفضّة بالفضة والبر بالبر والشّعيربالشعير والتمر بالتمروالملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد فمن زاد أو استزاد فقد أربى الاخد والمعطى فيه سواء )
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (tunai). Barag siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah”.(HR Muslim, dalam kitab al-Masaqqah).
{ رَوَي ا لْحَا كِمُ عَنِ ا بْن مَسْعُوْدَأَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : الرِ بَا ثَالَاثَةٌ وَ سَبْعُوْنَ بَابًاأَيْسَرُ هَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّ جُلُ أُمَّهُ}
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw. bersabda “Riba itu mempunyai 73 pintu ( tingkatan); yang palin rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab atau menelantarkan ibu dan bapaknya)” 
{عَنْ جَا بِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ا كِلَ الرِّ بَا وَمُؤْ كِلَهُ وَ كَا تِبَهُ وَشَا هِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ}
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama”. HR Muslim, dalam kitab al-Musaqqah).[22]

Hadits lain:
Dari Ubadah bin Shamid bahwa Rasulullah saw bersabda, “Emas dengan emas, biji dan zatnya harus sebanding timbangannya. Perak dengan perak, biji dan zatnya harus sebanding timbangannya. Garam dengan garam, kurma dengan kurma, bur dengan bur syair dengan syair, sama dan sepadan. Maka siapa saja yang menambah atau minta tambaha, maka dia telah melakukan riba.” (HR Imam Nasa’i)

Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya; janganlah menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara; dan jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak tampak. (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nisa’i dan Ahmad).[23]

c.    Berbagai Fatwa tentang Riba
Hampir semua majelis fatwa dari kalangan organisasi warga masyarakat Islam yang berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama telah membahas Riba. Untuk itu, kedua organisasi besar tersebut mempunyai lembaga ijtihad, yaitu majlis tarjih di pihak Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il dipihak Nahdatul Ulama’.
1)      Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi atau keuangan diluar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan pinjam (1989). Sebagai contoh Majlis tarjih Sidoarjo Pada tahun 1968 memutuskan : status hukum riba adalah haram berdasarkan nash sharih dari al-Qur’an dan as-sunnah. Oleh karena itu, bank yang menggunakan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
2)      Lajnah Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama’
Melalui beberapa kali sidang memutuskan mengenai bank dan pembangunan uang sama dengan status hukum gadai. Mengenai hal dimaksud terdapat tiga pendapat ulama, yaitu (a) haram, sebab utang yang dipungut rente (b) halal, sebab tidak ada syarat pada waktu aqad. (c) syubhat (tidak tentu halal dan haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
3)      Mufti negara Mesir
Keputusan kantor Mufti negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurngnya sejak tahun 1990 sampai 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
4)      Fatwa MUI tentang keharaman bunga Bank
Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majlis Ulama (MUI) se-Indonesia menetapkan bahwa bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupum individu yang melakukan praktik pembungaan adalah haram. Karena hal tersebut mengandung unsur riba.[24]

d.   Wacana riba dalam fiqih
Aturan-aturan umum  yang diberikan oleh para ulama  mengenai riba dalam kaitannya dengan transaksi jual beli dapat dirangkum sebagai berikut:
1)      Jika komoditi yang ditransaksikan meliputi emas, perak, gandum, kurma, dan garam, serta sejenis komoditi lainnya yang semisal ditentukan melalui metode qiyas, maka transaksinya harus dilakukan secara langsung (dari person ke person), tidak boleh ditangguhkan, dan kadarnya harus sama. Karena penangguhan penyerahan komoditi yang menyebabkan meningkatnya salah satu nilai tukar komoditi adalah termausk riba.
2)      Jika komoditi yang ditransaksikan berbeda (misal:emas dengan perak, gandum dengan kurma), maka proses transaksinya harus secara langusng (dari person ke person). Namun tidak ada ketentuan yang mengharuskan sama kadarnya. Apabila salah satu komoditi ditukarkan pada masa sekarang dan yang lainnya ditangguhkan, maka keduanya tidak ditentukan  dalam kadar yang sama, harus disesuaikan dengan masa peredarannya.[25]
e.    Macam-macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba Nasi’ah:
1)      Riba Qardh (ربا القرض)
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (mutarridh).
2)      Riba Jahiliyah (ربا الجاهلية)
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba Jahiliyyah dilarang karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ah fahuwa riba”. (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasi’ah, dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl.
3)      Riba Fadhl (ربا الفضل)
Riba Fadhl disebut juga Riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin), pertukaran seperti ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi  kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak yang lain.
4)      Riba Nasi’ah (    (ربا النسه
Riba Nasi’ah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghunmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.[26]

f.     Prinsip-Prinsip Riba
Prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba didalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah saw:
1)   Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit maupun tunai mengandung unsur riba. Contoh, adanya unsur riba didalam pertukaran satu ons emas dengan setengah ons emas.
2)   Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnyaa, tetapi berbeda nilai atau harganya dan dilakukan secara kredit, mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini akan terbebas dari unsur riba jika dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.
3)   Pertukaran barang yang sama nilai atau harganya tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit mengandung unsur riba. Tetapi apabila pertukaran dilakukan secara tunai maka terbebas dari unsur riba. Contoh, jika satu ons emas mempunyai nilai yang sama dengan satu ons perak. Kemudiann dinyatakan sah apabila dilakukan pertukaran dari tangan ke tangan secara tunai. Sebaliknya, transaksi ini dilarang apabila dilakukan secara kredit karena adanya unsur riba.
4)   Pertukaran barang yang berbeda jenis, nilai dan kuantitasnya baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan terbebas dari riba sehinga diperbolehkan. Sebagai contoh garam dengan gandum dapat dipertukarkan  baik dari tangan ketangan maupun secara kredit dengan kuantitas sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
5)   Jika barang itu campuran yang mengubah jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari unsur riba sehingga sah. Contoh, perhiasan emas ditukar dengan emas atau gandum dengan tepung gandum.
6)   Didalam perekonomian yang berazaskan uang, dimana harga barang ditentukan dengan standar mata uang suatu negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda, baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan, keduanya terbebas dari riba, oleh karena itu diperbolehkan. Contoh, satu grade gandum dijual seberat 10 kg per dolar, sementara grade gandum yang lain 15 kg per dolar. Kedua grade gandum ini dapat ditukarkan dengan kuantitas yang tidak sama tanpa merasa ragu adanya riba karena transaksi itu dilakukan berdasarkan ketentuan harga gandum, bukan berdasarkan jenis atau beratnya.[27]

g.    Dampak Negatif Riba
1)   Dampak ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak infantloir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi pula harga yang ditetapkan suatu barang.  Dampak lainnya adalah utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih jika bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah utang negara-negara berkembang pada negara maju. Meskipun dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara peminjam harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya.[28]
2)   Sosial kemasyarakatan
·      Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama dan saling tolong menolong.
·      Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas.
·      Riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan barang sama.
·      Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Bagi orang yang mempunyai pendapatan lebih akan banyak memunyai kesempatan untuk menaikkan pendapatannya dengan membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang berpendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam membayar utang tetapi harus memikirkan bunga yang akan dibayarkan.[29]

C.  KESIMPULAN
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Dan hukum riba adalah haram. Terdapat beberapa perbedaan pendapat para ulama, namun pada intinya sama, yaitu mereka mengharamkan praktik riba dalam kegiatan perekonomian.
Sedangkan dalam bagi hasil, terdapat beberapa jenis diantaranya  al-Musyarakah, al-Mudharabah, al-Muzara’ah dan al-Musaqqah. Untuk al-Muzara’ah dan al-Musaqqah lazim digunakan dalam pembiayaan pertanian.


                [1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah,(Jakarta:Gema Insani,2004), hal 90
                [2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 90-92
                [3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 95-98
                [4] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Tulungagung:STAIN Tulungagung, 2006),  hal 90-91
                [5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 99
                [6] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 100
                [7] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah:Deskripsi dan Iustrasi,(Yogyakarta: Ekonisia, 2005), hal 10
                [8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 37
                [9] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga... hal 10-11
                [10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 38
                [11] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008) hal 32
                [12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 48-49
[13] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 49
                [14]Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Imam Jalaluddin As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung:Sinar Baru Algensindo, 2010), hal 406
                [15] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 49
                [16]Imam Jalaludin al-Mahali, Tafsir Jalalain... hal 270
                [17]Imam Jalaludin al-Mahali, Tafsir Jalalain...  hal 312
                [18] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 49
                [19] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 50
                [20] Imam Jalaludin al-Mahali, Tafsir Jalalain... hal 160-161
                [21] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga...  hal 53
                [22] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 51-54
                [23] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga... hal 12-13
                [24] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah,(Jakarta: Sinar Grafika,2008),hlm 113-118
                [25] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga... hal 63
                [26] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga... hal 15-16
                [27] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga... hal 16-17
                [28] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah... hal 67
                [29] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga... hal 21-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar