Rabu, 25 Januari 2017

Produk-produk Bank Syariah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bank merupakan lembaga keuangan yang dibangun  atas dasar keprecayaan. Bank pun dalam pendanaan operasionalnya sebagian besar berasal dari masyarakat. Dana-dana yang dihimpun  dari masyarakat ternyata menjadi sumber dana terbesar yang dijadikan andalan oleh bank tersebut. pencapainnya mencapai 80-90 % dari seluruh dana yang dikelola bank. Setiap lapisan masyarakat yang menyimpan uangnya harus benar-benar yakin akan keamanan uang yang diamnahkan  kepada bank-bank tertentu dalam jangka waktu tertentu pula.
Produk bank tanpa bunga, tak jauh beda dengan bank biasa. Hanya, filosofi dan sistemnya yang berbeda. Pada bank islam, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tetapi dalam rangka beramal. Dana nasabah akan disalurkan  pada orang lain yang membutuhkan  leat bank, lalu keuntungan  akan dibagi sesuai perjanjian.
Dalam menghimpun dana, bank menyediakan beberapa produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman yang semakin canggih dengan adanya teknologi modern sekaligus persaingan di dunia global. Selain itu, produk-produk tersebut bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penyimpanan kekayaan, sehingga dibutuhkan jasa perbankan untuk memenuhinya. Seperti produk-produk dalam perbankan syariah, yakni prodduk penyalur dana, produk penghimpun dana, dan produk jasa. Produk yang ditawarkan tentu saja sudah sangat islami. Namun pada prakteknya tidak semua dibenarkan dibenarkan oleh hukum islam, oleh karenanya perlu dipahami lagi secara lebih mendalam supaya tidak melanggar hukum islam yang telah ditetapkan demi kemaslahatan umat manusia. Dari ketiga produk-produk yang disediakan oleh bank syariah, dalam makalh ini penulis akan membahas tentang lebih jauh tentang produk-produk bank syariah. Penulis berharap dari diselesaikannya makalah ini, semoga dapat memberikan manfaat dengan sebesar-besarnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud perbankan syariah ?
2.      Bagaimana tentang produk-produk bank syariah ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang perbankan syariah
2.      Untuk mengetahui tentang produk-produk bank syariah





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perbankan Syariah
Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an  dan As-Sunnah.
Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rular Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank islam tumbuh dengan pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahmad dan laporan Internasional Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keunagan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, biak di negara-negara berpenduduk muslim maupun Eropa, Australia, maupun Amerika.
Suatu hal yang patut yang dicatat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiories yang berdasarkan syariah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa pasar dunia Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index, mantan direktur utama Bank Islam di Denmark yang kristen itu, menyatakan bahwa bank Islam adalah partner baru pembangunan.[1]

B.     Produk-produk Bank Syariah
Dalam rangka melayani masyarakat, terutama masyarakat muslim, bank syariah menyediakan berbagai macam produk perbankan. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Pada dasarnya, produk yang ditawarkan  oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar[2], yaitu:
1.      Produk Penyaluran Dana (financing)
Dalam menyalurkan dananya pada  nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya[3], yaitu:
a.       Pembiayaan dengan prinsip jual beli (ba’i)
Prinsip jual beli dilaksanakan  sehubungan dengan adanya  perpindahan kepemilikan  barang atau benda (trasfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan  di depan  dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli  dapat dibedakan  berdasarkan  bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni sebagai berikut:
1.  Pembiayaan murabahah, yaitu bank membiayai pembelian barang yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran kemudian. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara bank membeli atau memberi kuasa kepada nasabah untuk membeli barang yang diperlukan atas nama bank. Selanjutnya, pada saat yang bersamaan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga pokok ditambah dengan sejumlah keuntungan atau mark up untuk dibayar oleh nasabah pada jangka waktu tertentu, sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan nasabah.[4]
2.  Pembiayaan salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran  dilakukukan  di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum  awal pembayaran harus dalam bentuk uang.[5]
3.  Pembiayaan Istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad Bai’as-salam, oleh karena itu ketentuan dalam Ba’i Al istishna’ adalah kontrak  penjulan antara pembeli dengan produsen (pembuat barang). Kedua belah pihak harus saling meyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.[6]
b.      Pembiayaan dengan prinsip sewa
Ijarah adalah akad perpindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease.[7]
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi bedanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.[8]
c.       Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut:
1.      Pembiayaan Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha  tertentu dimana masing-msing pihak  memberikan konstribusi dana dengan kesepakatan  bahwa keuntungan dan risiko kan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[9]
Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyedikan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-Musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keungan modal ventura.
2.      Pembiayaan Mudharabah adalah akad kerjasama antar dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian  si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.
Dalam praktiknya mudharabah terbagi dalam 2 jenis yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Pengertian mudharabah muthlaqah merupakan  kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah dimana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Dalam dunia perbankan al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.[10]
d.      Pembiayaan dengan akad pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad-akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. Akad pelengkap ini adalah akad tabarru’[11]. Berikut membahas akad-akad pelengkap ini:
1.      Hiwalah (Alih Utang Piutang) adalah  pengalihan utang  dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan  muhal’alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.[12]
2.      Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil  kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang  atau gadai.[13]
3.      Qardh adalah pemberian  harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.[14]
4.      Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Jadi wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.[15] Perjanjian pemberian kuasa kepada pihak lain yang ditunjuk untuk mewakilinya dalam melaksanakan suatu tugas/kerja atas nama pemberi kuasa.
5.      Kafalah (Garansi Bank) merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung  (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[16]
2.      Produk Penghimpun dana (funding)
Penghimpunan dana di Bank Syariah dpaat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a.       Prinsip Wadi’ah yaitu perjanjian  antara pemiliki barang (termasuk uang) dengan menyimpan (termasuk bank) di mana pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang yang dititipkan kepadanya. Dalam hal ini terdapat dua jenis wadi’ah, yaitu wadi’ah amanah dan wadi’ah dhamamah. Dalam wadi’ah amanah pihak penyimpan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan, yang tidak diakibatkan oleh kelalaian penyimpan. Sementara wadi’ah dhamamah pihak penyimpan  dengan izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang yang dititipkan dan bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan tersebut menjadi hak penyimpan.[17]
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perbankan juga disifati dengan yad dhamamah, implikasi hukumnya  sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai  yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwan ketika menerima titipan uang di zaman Rasulullah SAW.[18]
b.      Prinsip Mudharabah yaitu penyimpan atau deposa bertindak sebagai shahibul mal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan untuk melakukan murabahah atau ijarah  seperti yang dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan mudharabah kedua. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan mudharabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi.
Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib-ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, dan ada ijab qobul). Prinsip mudharabah ini akan diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka. Berdasarkan kewenangan yaang diberikan oleh pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi dua yaitu:
1.      Mudharabah muthlaqah, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Nasabah tidak memberikan persyaratan apapun kepada bank, ke bisnis apa dana yang disimpannya itu hendak disalurkan, atau menetapkan penggunaan akad-akad tertentu, ataupun mensyaratkan dananya diperuntukan bagi nasabah tertentu. Jadi bank memiliki kebebasan  penuh untuk menyalurkan dana ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan. Dari penerpaan mudharabah muthlaqah ini dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
2.      Mudharabah muqayyadah, terdapat dua jenis mudharabah muqayyadah yaitu:
a.       Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet merupakan simpanan khusus dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan untuk nasabah tertentu.
b.      Mudharabah Muqayyadah of Balance Sheet merupakan penyaluran dana mudharabah  langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetepkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari bisnis (pelaksana usaha).[19]
3.      Produk Jasa (Service)
Selain menjalankan fungsinya sebagai intermediaries (penghubung) antara pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) dengan pihak yang kelebiihan dana (surplus unit), bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa:
a.       Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b.      Ijarah (Sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.[20]



[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hal 18-19
[2] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisa Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal 97
[3] Ibid, hal 97
[4] Herman Darmawi, Pasar Finansial dan Lembaga-lembaga Finansial¸ (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006) hal 86
[5] Kasmir, Dasar-dasar Perbankan¸ (Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2008) hal 224
[6] Ibid, hal 225
[7] Ibid, hal 226
[8] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisa Fiqih dan Keuangan..... hal 101
[9] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik..... hal 90
[10] Kasmir, Dasar-dasar Perbankan.....hal 222
[11] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisa Fiqih dan Keuangan..... hal 104-105
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik..... hal 126
[13] Ibid, hal 128
[14] Ibid, hal 131
[15] Ibid, hal 120
[16] Ibid, hal 123
[17] Herman Darmawi, Pasar Finansial dan Lembaga-lembaga Finansial.....hal 86
[18] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisa Fiqih dan Keuangan..... hal 108
[19] Ibid, hal 108-111
[20] Ibid, hal 112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar