A.
Pendahuluan
Latar
Belakang
Perubahan dalam kuasa atau kebiasaan tidak
dapat mengubah hukum. Apa yang tampak berubah dalam hukum hanyalah penyimpangan
darinya karena ada kebutuhan dalam sikap, Ibn Taimiyah yang memaafkan orang
Tartar meneguk minuman keras, Karena situasi semacam itu memerlukan menuntut
ketepatan semacam itu. Penyimpangan-penyimpangan semacam itu tampak sebagai
perubahan-perubahan tetapi pada kenyataanya penyimpangan-penyimpangan itu tidak
mengubah hukum, karena hukum yang eternal dan untuk sepanjang masa tidak bisa
berubah tetapi tetap sama dan bisa diaplikasikan jika situasi berubah atau
perrsoalan-persoalan kembali ke posisi sebelumnya atau posisi semula atau
situasi yang baru muncul yang menghendaki penerapan hukum yang sama. Oleh
karena itu kami akan membahas Pengertian dan Kedudukan Maslahah Mursalah
agar kita dapat memahami tentang maslahah mursalah itu sendiri.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Mashlahah
mursalah terdiri dari dua kata yang berhubungan keduanya dalam bentuk sifat maushuf
, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari
al-mashlahah.[1]
Tentang arti mashlahah secara etimologi adalah setiap sesuatu yang menimbulkan
suatu perbuatan, berupa hal-hal baik sedangkan secara terminologi menurut imam
ghazali mashlahah sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kemanfaatan dan
menanggulangi kerusakan.[2]
sedangkan dalam kamus besar dikatakan bahwa maslahat artinya
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, guna. Sedangkan kata “kemaslahatan”
berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata “manfaat”,
dalam kamus tersebut diartikan dengan: guna, faedah. Kata “manfaat” juga
diartikan sebagai kebalikan/lawan kata
“mudarat”yang berate rugi atau buruk.[3]
Al – mursalah adalah isim maf’ul atau objek dari fiil madhi atau kata
dasar dalam bentuk tsusasi atau kata dasar yang tiga huruf, yaitu ر سل , dengan penambahan huruf alif di pangkalnya,
sehingga menjadi ا
ر سل . secara etmologi atau bahasa artinya terlepas
atau dalam arti مطلقة atau bebas. Kata terlepas dan bebas disini
bisa berhubungan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas atau bebas
dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak nya dilakukan.[4]
Pengertian mashlahah
mursalah adalah menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap
suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’.
2. Kedudukan Maslahah Mursalah
Adapun
kedudukan mashlahah mursalah adalah sebagai sumber hukum berdasarkan
kepentingan umum terhadap suatu permasalahan yang tidak ada ketetapan hukumnya
dalam syara’. Adapun dasar pemakaian mashlahah adalah; Pertama mewujudkan
kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakkan
kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya. Kedua menghindarkan keburukan
(kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril. Ketiga
perubahan masa.[5]
Kalangan ulama Malikiyah dan Hanfiyyah
berpendapat bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dallil
hukum Islam. Ada beberapa argumen yang dikemukakan dianatranya:
a. Adanya
perintah Al-Qur’an (QS. An-Nisa’(4):59)agar mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa
perselisihan itu terjadi karena itu merupakan masalah baru yang tidak ditemukan
dalilnya di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Untuk memecahkan masalah semacam itu,
selain dapt ditempuh lewat metode qiyas, tentu dapt ditempuh lewat metode lain
seperti istislah.
b. Hadits
Mu’adz bin Jabal. Dalam hadis, Rosululloh membenarkan dan memberi restu kapada
Mu’adz untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang perlu diputuskan hukumnya
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa dalam
berijtihad banyak metode yang bisa
dipergunakan. Diantaranya dengan metode qiyas , apabila kasus yang dihadapi ada
percontohannya yang dihukumnya telah ditegaskan oleh nash syara’ lantaran ada
illah yang mempertemukan.
c. Tujuan
pokok penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat
manusia.
d. Di
zaman sahabat banyak muncul masalah baru yang belum pernah terjadi pada zaman
Rasullullah. Untuk mengatasi hal ini, sahabat banyak melakukan ijtihad
berdasarkan maslahah mursalah. Cara dan tindakan semacam ini sudah menjadi
konsesus para sahabat
Kalangan ulama Syafi’iyah dan ulama
Hanbilah berpandangan bahwa maslahah mursalah tidak bisa dijadikan hujjah
syar’iyah dan dalil hukum Islam. Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh
mereka, di antaranya:
a. Maslahah ada yang dibenarkan oleh
syara’/hukum Islam, ada yang ditolak dan ada yang diperselisihkan atau tidak
ditolak dan tidak pula dibenarkan.
Maslahah mursalah termasuk kategori maslahah yang diperselisihkan. Penyikapan
maslahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam
terhadap sesuatu yang meragukan dan megambil satu di antara dua kemungkinan
tanpa disertai dalil yang mendukung.
b. Sikap menjadikan maslahah mursalah
sebagai hujjah menodai kesucian hukum Islam dengan memperturutkan hawa nafsu
dengan dalih maslahah. Dengan cara ini akan banyak penetapan hukum Islam yang
berdasarkan atas kepentingan hawa nafsu.
Sebab, dunia terus bertambah maju dan seiring dengan itu akan muncul hal-hal
baru yang oleh nafsu dipandang maslahah, padahal meurut syara’ membawa
mafsadah. Tegasnya, penetapan hukum Islam berdasarkan maslahah adalah penetapan
hukum Islam berdasarkan hawa nafsu.
c. Hukum Islam telah lengkap dan
sempurna. Menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum
Islam, berarti secara tak langsung tidak mengakui karakter kelengkapan dan
kesempurnaan hukum Islam itu. Artinya, hukum Islam itu belum lengkap dan
sempurna masih ada yang kurang. Demikian juga memandang maslahah mursalah
sebagai hujjah akan membawa dampak bagi terjadinya perbedaan hukum Islam
disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Hal ini menafikan universalisme,
keluasan, dan keluwesan hukum Islam.[6]
3. Klasifikasi Kepentingan
Menurut ulama Malikiyah, syariah
berorientasi pada kemanfaatan dan mereka menitikberatkan pada keserasian dan
hukum untuk memajukan kemaslahatan. Premis dasarnya adalah bahwa hukum harus
melayani kepentingan masyarakat. Mereka mengklasifikasikan kepentingan atau
masalih kedalam tiga kategori:
a. Masalih mu’tabarah atau
kepentingan-kepentingan yang diakui dalam syari’ah, seperti halnya melindungi
kehidupan, agama, keluarga, akal, dan kekayaan, dan ada yang menambahkan yang
keenam yakni, kehormatan. Bagi mereka, inilah kpentingan-kepentingan yang
dilindungi oleh pengaturan transaksi yang dibutuhkan untuk hidup, peraturan
peribadatan untuk Agama, peraturan perkawinan untuk kehidupan keluarga,
larangan minuman keras untuk melindungi kemampuan otak, hukuman bagi pencuri
untuk melindungi kekayaan, hukuman bagi perzinahan dan fitnahan untuk
melindungi kehormatan.
b. Masalih mulgah atau
kepentingan yang dibuang oleh syariah. Misalnya, cerita tentang seorang
penguasa yang tidak menjalankan puasa Ramadhan. Ia menebus dosanya itu dengan
membebaskan seorang budak dan membagikan derma, tetapi hakim pengadilan
memberikan keputusan bahwa sang penguasa harus berpuasa selama dua bulan
berturut-turut, karena penebusan dosa tidak ditentukan oleh besranya
pengorbanan kekayaan seseorang. Ini dicela dan tidak diakui oleh syari’ah.
c. Masalih mursalah atau
kpentingan-kepentingan yang tidak terbatas dan tidak ada ketentuannya. Karena
ia membicarakan kepentingan-kepentingan semacam itu yang diabaikan oleh
syari’ah dan dibiarkan tanpa batasan maupun ketentuan. Problemnya adalah
menentukan kepentingan-kepentingan yang tidak ada batasan maupun ketentuan itu. Sebagai gantinya menunjuk kepada syari’ah,
ulama Mlaikiyah bertumpu pada pemikiran
mereka sendiri dan menetukan kepentingan-kepentingan ini dengan mengacu pada
kemanfaatan dan fakta social yang ada yang selalu mengalami perubahan. Jadi
syari’ah harus bergerak dan berubah sesuai dengan fakta-fakta social. Ia
kehilangan kestabilannya dan menjadi lunak. Tujuan syaria’ah adalah untuk
mengontrol kemasyarakatan, tetapi dalam persoalan ini justru ia dikontrol oleh
masyarakat. [7]
4.
Perbedaan Pendapat Para Ulama
a.
Argumentasi Penolak Mashlahah Murshalah
1.
Penetapan mashlahah murshalah berpotensi mengurangi
sakralitas hukum-hukum syariat. Karena mencetuskan hukum mashlahah sarat dengan
konflik kepentingan dari pribadi pencetusnya, sementara garis syariat hanya
merekomendasikan kemaslahatan global saja. Sehingga tidak menutup kemungkinan,
dengan kedok maslahah, penggunanya terpengaruh dengan keinginan pribadi. Hal
ini sebagaimana statment Imam Syafi’i
i.
“Barang siapa menggunakan mashlahah, sama dengan
menggunakan syariat baru”
2.
Mashlahah mursalah berada pada posisi pertentangan antara
penolakan syara’ pada sebagian mashlahah dan pengukuhannya pada bagian yang
lain.
3.
Aplikasi mashlahah mursalah akan merusak unitas (kesatuan)
dan universalitas syariat islam. Hal ini karena hukum akan berubah seiring
dengan perubahan zaman, kondisi,dan pelakunya, sebab segi kemaslahatan akan
senantiyasa berubahdan berkembang.
b.
Pengguna Mashlahah Murshalah
1.
Survei membuktikan bahwa dalam hukum-hukum syariat
terdapat unsur kemaslahatan bagi manusia. Asumsi semacam ini akan menimbulkan
dugaan kuat akan legalitas mashlahah sebagai salah satu variabel penetapan
hukum. Sedangkan mengikuti dugaan kuat adalah suatu keharusan.ada ayat al
qur’an yang menunjukkan hal ini
وَمَا
اَرْسَلْنَأ كَ اِ لَّا رَ حْمَةًللْعَا لَميْنَ
“dan tidak kamu utus Engkau Muhammad kecuali
sebagai rahmad bagi alam semesta.” (QS. Al-Anbiya’:107)
2. Perkembangan
zaman yang berjalan dengan pesat. Berbagai cara mencapai kesejahteraan semakin
variatif. Jika mashlahah mursalah tidak dijadikan salah satu sumber hukum, maka
banyak kemaslahatan manisia terabaikan. Hukum syara’ akan mengalami staknasi,
bahkan bisa memunculkan kesan bahwa syariat islam tidak relefan lagi dengan
perkembangan zaman. Sedangkan Al- Quran sudah mengklaim universalitas kandungan
Al-Quran yang mampu merespon semua problematika kehidupan secara arif dan
bijaksana
3. Melihat
peran kesejarahan sahabat yang banyak menggunakan mashlahah dalam
kebijakan-kebijakannya.
Pro dan kontra, memperlihatkan kepada kita betapa
para ulama masa lalu betul-betul hati-hati dalam merumuskan sebuah sumber
hukum. Untuk itu para ulama memberikan syarat penerapan mashlahah dengan tiga
syarat
Pertama,
mashlahah
harus selaras dengan tujuan-tujuan syariat, tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasarnya, dan tidak menabrak garis ketentuan nash dan
dalil-dalil lain.
Kedua,
mashlahah
harus rasional, artinya secara rasio terdapat peruntutan wujud kemashlahatan
terhadap penetapan hukum.
Ketiga,
mashlahah
harus berdimensi universal, bukan kepentingan individu dan kelompok.
5.Dasar-dasar Pemakaian Maslahah Mursalah
Adapun
dasar-dasar pemakaian maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
a. Mewujudkan
kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakan
kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya.
b. Menghindarkan
keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril
c. Sadduddzarai
d. Perubahan
zaman[8]
C. Penutup
Kesimpulan
1.
Pengertian
Mashlahah Murshalah adalah menetapkan
hukum berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu persoalan yang tidak ada
ketetapan hukumnya dalam syara’.
2.
Kedudukan Mashlahah Murshalah adalah Pertama mewujudkan
kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakkan
kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya. Kedua menghindarkan keburukan
(kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril. Ketiga
perubahan masa.
3. Premis
dasarnya adalah bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat.
Mengklasifikasikan kepentingan atau masalih kedalam tiga kategori:
a. Masalih mu’tabarah
b. Masalih mulgah, dan
c. Masalih mursalah
4.
Perbedaan
pendapat para ulama memang ada dalam setiap penetapan hukum, tapi itu semua
menunjukkan bahwa kehati-hatian para ulama dalam menetapkan hukum.
5. Adapun
dasar-dasar pemakaian maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
a. Mewujudkan
kebaikan, yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakan
kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya.
b. Menghindarkan
keburukan (kerugian), baik perseorangan maupun kelompok, material maupun moril
c. Sadduddzarai
d.
Perubahan zaman
[1] Kutbudid Aibak, Hukum Islam
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008) hal 199
[3]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm 128
[4] Kutbudid Aibak, Hukum Islam,
…… hal 199
[5] Chairuman Pasaribu, Hukum
perjanjian dalam islam (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), hal 36
[6] Asmawi, Perbandingan Ushul
Fiqh……………….hlm 130-134
[7] Muhammad Muslehuddin, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1997) hlm 129-130
[8] Ngainun Naim, Sejarah
Pemikiran Islam, (Surabaya: Elkaf, 2006) hlm 37