BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam konteks pemahaman al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang
harus dilalui untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat
al-Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran merupakan: seperangkat
kaidah yang seharusnya dipakai oleh penafsir ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Quran.
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran
atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia.
Karenanya, al-Quran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan
pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan
sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Quran itu. Sehingga
al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW,
sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai
macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut
antara lain susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang
sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami
bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat
berbagai faktor.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.Apa Pengertian
Metode Tafsir ?
2.Apa saja macam
– macam metode tafsir ?
3.Bagaimana
klasifikasi dan corak tafsir ?
C.
TUJUAN MASALAH
1.Menjelaskan
pengertian metode tafsir
2.Mendeskripsikan
macam – macam metode tafsir
3.Menjelaskan
klasifikasi dan corak tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN METODE TAFSIR
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara
atau jalan. Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “method”
dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan “tharîqah”
dan “manhaj”. Di dalam pemakaian
bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti : “cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud sedangkan dalam ilmu pengetahuan
mengandung arti : “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.
Sedangkan
“tafsir” secara bahasa mengadung
arti : menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan
para Ulama berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir menurut istilah,
sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan ialah: “Ilmu yang membahas tentang
cara pengucapan lafazh-lafazh Quran, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan
makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang
melengkapinya”.
Jadi,
yang dimaksud metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
Sedangkan
ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir
baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai
kemampuan manusia yaitu metodologi penafsiran.
B.
METODE - METODE PENAFSIRAN
Study atas hasil karya penafsiran para ulama
sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode
penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
§ Ijmaly (global)
§ Tahlily (analistis),
§ Muqaran (perbandingan),
§ Maudhu’i (tematik).
Atas seizin Allah kami
akan menjelaskan keempat metode ini lebih terperinci lagi, terutama metode
keempat mengingat pentingnya metode ini untuk diketahui oleh siapa saja yang
hendak menafsirkan Al-Qur’an.
1) Metode Ijmali (Global)
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan
metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir
yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna
global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas
tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam muskhaf. Di samping
itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal
yang didengarnya itu tafsirnya. Ketika menggunakan metode ini, para mufassir
menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbab an-nuzul),
peristiwa sejarah, hadis nabi, atau pendapat ulama saleh.[1]
b) Kelebihan
Ø
Praktis dan
mudah dipahami oleh ummat dari berbagai strata
sosial dan lapisan masyakat.
Ø
Bebas
dari penafsiran kemungkinan israiliah maka tafsir
ijmali relatif murni dan terbebas dari
pemikiran-pemikiran Israiliat dapat dibendung pemikiran-pemikiran
yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti
pemikiran-pemikiran spekulatif .
Ø
Akrab dengan bahasa
al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang
singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.
c) Kelemahan
Ø
Menjadikan
petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan
yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian
yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau
samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang
lebih rinci. Dengan
menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan
dapat terhindar dari kekeliruan.
Ø
Tidak ada
ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai
metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan
uraian yang luas, jika menginginkan adanya analisis
yang rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu
kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode ini.
d) Contoh kitab
tafsir ijmali
Di antara kitab-kitab
tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din
al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad
Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh
Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyassar karangan Syaikh
Abdul al-Jalil Isa, dan lain sebagainya.[2]
e) Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir
langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan
penetapan judul. Pola serupa ini tidak jauh berbeda dengan metode alalitis,
namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode
global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan
ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir
untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab
Tafsir ijmali seperti
disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan
umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca
tersebut adalah tafsirnya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga
penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.[3]
2) Metode Tahliliy
(Analisis)
a) Pengertian
Yang dimaksud dengan
Metode Tahliliy (Analisis)
ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di mulai dari uraian makna
kosokata, makna kalimat, maksut stiap ungkapan, kaitan antar pemisah sampai
sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan bantuan asbab an-nuzul,
riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in.
Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat
per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan
generasi Nabi sampai tabi’in , terkadang pula diisi dengan uraian-uraian
kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk
memahami Al-Qur’an yang mulia.
b) Kelebihan
Ø
Ruang
lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup
yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan oleh
mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan
ra’y dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian
masing-masing mufassir.
c) Kelemahan
Ø
Menjadikan
petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,tidak
utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan
pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada
ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya
perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau
sama dengannya.
Ø
Masuknya
pemikiran Israiliat sebab berbagai pemikiran mufassir dapat
masuk ke dalamnya, tidak tercuali pemikiran
Israiliat Contohnya, kitab tahlili seperti dalam
penafsiran al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama,
termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.[4]
d) Contoh kitab tafsir tahlili
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode
ijmali antara lain :Ma’alim al- Tanzil(karya al -Baghawi), Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (karya Ibn Katsir), Tafsir al-Khazin (karya al-Khazin), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (karya al -Baidhawy)[5]
e) Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang
diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna
yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan
menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’yi, sebagaimana
dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi
surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat
yang ditafsirkan. Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat)
atau ra’y (pemikiran)[6]
3) Metode Muqaran
(Komparatif/Perbandingan)
a) Pengertian
Pengertian metode muqaran (komparatif)
dapat dirangkum sebagai berikut :
·
Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki
redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
·
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya
terlihat bertentangan;
·
Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.[7]
Jadi metode
tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk
pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah yang ditempuh ketika menggunakan metode ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan sejumlah
ayat Al-Qur’an
2. Mengemukakan penjelasan
para mufassir, baik kalangan salaf atau kalangan khalaf, baik tafsirnya
bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi
3. Membandingkan
kecenderungan tafsir mereka masing-masing.
4. Menjelaskan siapa saja
yang mengemukakan tafsirannya dalam kelompok-kelompok.
Selain rumusan di atas,
metode muqaran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, atau mmbandingkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi, termasuk dengan hadits-hadits yang
makna tekstualnya tampak kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau dengan
kajian-kajian lainnya.[8]
b) Kelebihan
Ø
Memberikan
wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada
pada pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode
lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,
Ø
Membuka
pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang
kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang
kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab
atau aliran tertentu,
Ø
Tafsir
dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai
pendapat tentang suatu ayat,
c) Kelemahan
Ø
Penafsiran
dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru
mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas
dan kadang-kadang ekstrim,
Ø
Metode
ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang
tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan
perbandingan dari pada pemecahan masalah[9]
d) Contoh kitab tafsir Muqaran
Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode Muqaran diantaranya adalah:
Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi, mengkaji
perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya
al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.[10]
e) Ciri-ciri Metode Muqaran
Perbandingan adalah
ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang
prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan
karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat
dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang
ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu
tidak dapat disebut “metode muqaran”.[11]
4) Metode Maudhu’iy
(Tematik)
a) Pengertian
Yang dimaksud
dengan metode mawdhu’iy ialah
membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas
dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan
secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan
Hadits, maupun pemikiran rasional.
b) Kelebihan
Ø
Menghindari
problem atau kelemahan metode lain
Ø
Menafsirkan
ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan
al-Qur’an
Ø
Kesimpulan yang
dihasilkan mudah dipahami
Ø
Metode
ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya
ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Quran,
sekaligus membuktikan bahwa ayat-ayat
al-Qur’an sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
c) Kekurangan
Ø
Kesullitan
dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah
suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak
permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat.
Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin
membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat
harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada
waktu melakukan analisis.
Ø
Membatasi
pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu
ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya
mufassir terikat oleh judul itu.[12]
d) Contoh kitab
tafsir Maudhu’i
Di antara kitab-kitab
tafsir dengan metode Maudhu’i, yaitu :Al-Mar’ah fi Al-Qur’an
Al-Karim (karya Abbas Al-Aqqad), Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Abu A’la
Al-Maududi), Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (karya Muhammad Abu Zahrah), Al-Insan
fi Al-Qur’an Al-Karim (karya DR. Ibrahim mahnan), Washaya surat al-isra’ (karya
DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).[13]
e) Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Yang menjadi ciri utama
metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan sehingga tidak
salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi
mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau
berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema
yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek,
sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari
pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut
berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh). Sementara
itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas
Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i. Langkah-langkah
tersebut adalah :
·
Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
·
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
·
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan
tentang asbab al-nuzulnya.
·
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
·
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line).
·
Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok
bahasan.
·
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara
yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus),
mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya
bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan
atau pemaksaan.[14]
C. KLASIFIKASI
TAFSIR DAN CORAK TAFSIR
1. Klasifikasi
Tafsir
a. Tafsir
bi Al-Ma’tsur
Tasir bil Al-Ma’tsur disebut juga tafsir
riwayah atau tafsir manqul, yaitu tafsir al-Quran yang dalam penafsiran
ayat-ayat al-Quran berdasarkan atas sumber panafsiran dalam Al-Quran dari
riwayat para sahabat dan dari riwayat para tabi’in. Tasir bil Al-Ma’tsur adalah
penjelasan Al-Qur’an sendiri dari Rasulullah Saw, yang disampaikan kepada para
sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga
berdasarkan ijtihadnya.[15]
Ø
Keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur sebagai berikut:
·
Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran
·
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
·
Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar
tidak terjerumus dalam subjektivitas yang
berlebihan.
Ø
Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur antara lain sebagai berikut:
·
Terjadi pemalsuan (wadh) dalam tafsir.
·
Penghilangan sanad
·
Mufassir terjerumus ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang
bertele-tele sehingga pokok al-Quran menjadi kabur.
·
Kronologis asbab an-Nuzul hukum yang di pahami dari uraian (naskh-mansukh)
hampir di katakan terabaikan sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di
tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.
·
Masuknya unsur israiliyyat yang di definisikan sebagai unsur Yahudi dan
Nasrani ke dalam penafsiran al-Quran.
Ø
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain:
Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir
Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur
(karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir
Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh
(karya Abu Ja’far An Nahhas). [16]
Ø
Hukum Tafsir bil Ma’tsur.
Tafsir bil ma'tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena terjaga
dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir berkata : "Ahli tafsir
yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjahnya
terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan tafsirnya kepada
Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau dan tidak keluar dari
perkataan salaf. (Tafsir Thobari: 1/66 dengan beberapa ringkasan.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata : "Dan kita mengetahui bahwa
Al-Qur'an telah dibaca oleh para sahabat, tabi'in dan orang-rang yang mengikuti
mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang kebenaran yang dibebankan Allah
kepada Rasulullah untuk menyampaikannya. (Majmu' Fatawa: 13/362.)[17]
b. Tafsir bi al Ra’yi
Kata al ra’yi secara etimologis berarti
keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran yang
dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak
penafsiran setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek
dilalah (pembuktian) nya dan mufasari juga menggunakan syair-syair arab jahili
sebagai pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh,
qira’at dan lain-lain.[18]
Tafsir bir Ro’yi adalah tafsir yang
berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya dengan akal semata.
Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid'ah yang meyakini pemikiran tertentu
kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur'an kepada pemikiran mereka tanpa ada
pendahulu dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak dinukil dari para imam
ataupun pendapat mereka dan tidak pula dari tafsir mereka. Seperti kelompok
Mu'tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan pokok-pokok pemikiran mereka
yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin Kaisar, Tafsir Abu 'Ali Al-Juba'i,
Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari.[19]
Ø Kelebihan Tafsir bi al Ra’yi
·
Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka
merenungkan Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ
إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوْا اَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا
ْالاَلْبَابِ
Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi
diberkati, supaya mereka memperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan
orang-orang yang berakal" (QS.Shad:29)
"merenung dan
berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami
rahasia-rahasia al-Qur'an dan berijtihad untuk memahami makna-maknanya.
·
Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar
kembali kepada ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:
وَلَوْ رَدُّوْهُإَلَى
الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِى اْلاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ
يَسْتَنْبِظُوْنَهُ مِنْهُمْ
Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang
mempunyai urusan di anatara mereka, niscaya orang-orang yang meneliti di antara
mereka mengetahui akan hal ini (QS.An-Nisa:83)
·
Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak
diperbolehkan, dan tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini
tidak benar
·
Sesungguhnya para sahabat telah membaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam
menafsirkannya. Juga telah maklum bahwa tidak semua yang mereka katakan tentang
al-Qur'an itu mereka dengar dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak menerangkan
segala sesuatu kepada mereka, melainkan beliau terangkan kepada mereka hanyalah
bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang sebagain, yang sekira dapat
dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad.
Ø Kelemahan
Tafsir bi al Ra’yi
·
Sesungguhnya tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah
tanpa berdasarkan suatu ilmu, ini jelas dilarang. Sebagaimna yang disinggung
dalam firman Allah SWT:
وَاَنْ تَقَولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ
Artinya:
….. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah
tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui
·
Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan
Al-Qur'an dengan pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:
اِتَّقُوا الحَدِيْثَ
عَلَيَّ إِلاَّ مَا عَلِمتُمْ فَمَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ وَمَنْ
قَالَ فِي الْقُرْاَنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya : takutlah
engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang engkau tahu.
barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja tempat duduknya
di neraka. Dan barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan pendapatnya, maka
ambillah saja tempat duduknya di neraka (HR at-Turmudzi)
Firman Allah SWT
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُوْ
يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya : Dan Kami
turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya engkau terangkan kepada
manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka memikirkannya
(QS.an-Nahl;44)
·
Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan
pendapat mereka. Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:
أَيُّ سَمَاءٍ
تُظِلُّنِيْ : وَأَيُّ اَرْضٍ تُقِلُّنِيْ : إِذَا قُلْتُ فِي الْقُرْانِ
بِرَأءيِي
أَوْ قُلْتُ فِيْهِ بِمَا لاَ اَعْلَمُ
Artinya: di
langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku berkata
sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-Qur'an
dengan sesuatu yang tidak kuketahui?[20]
Ø
Tafsir-tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain:
Tafsir al-Jalalain
(karya Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur
Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu
Suud, Tafsir An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazi[21]
Ø Hukum
Tafsir Bir Ro’yi
Adapun menafsirkan Al-Qur'an dengan akal
semata, maka hukumnya adalah harom. Sebagaimana Firman Allah: “Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS.
Al-Isro': 36)
Rasulullah bersabda : "Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur'an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.[22]
Rasulullah bersabda : "Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur'an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.[22]
2. Corak
Tafsir
a. Tafsir
Ash-Shufi
Tafsir sufi adalah penafsiran al Qur’an yang
berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat.
Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi luhur dan
terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat
menjangkau rahasia-rahasia al- Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al Qur’an
sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang berhubungan dengan kesufian
yang justru kadang-kadang berlawanan dengan “Syari’at Islam” dan kadang-kadang
pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan tentang Islam.[23] Contoh
karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-Karim, karya
Sahl al-Tustarī, Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd
al-Rahman al-Sulamī, Lata’if al-Isyarat karya
al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān
karya al-Syirazī.[24]
b.
Tafsir
Fiqhī
Tafsir fiqhi, adalah corak tafsir
yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan
cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat di antara imam
madzhab. Tafsir ini sering disebut tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam
karena tafsir ini lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an (ayat
al-ahkam).[25]
Di
antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran
karya al-Jassās, Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi, dan Al-Jāmi‘ li
ahkām al-Quran karya al-Qurtubī .[26]
c.
Tafsir falsafi
Adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang
didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang
mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an
dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa
berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan
menggunakan teori-teori filsafat.[27] Ada
beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al- Hikam karya Al Farabi, Mafatih
Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi[28]
d. Tafsir
ilmi
Tafsir ilmi adalah suatu metode tafsir yang berusaha menjalaskan
istilah-istilah yang ilmiyah dalam al-Qur’an dan menghasilkan berbagai macam
teori ilmiyah dan filsafat. Dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan
tafsir ilmi adalah seorang mufassir yang berusaha menjelaskan makna yang
terkandung dalam al-Qur’an dengan metode atau pendekatan ilmiyah atau ilmu
mengetahuan.[29] Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir
al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi
Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’
‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam
al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai
karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami
sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an berdasarkan
tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong
kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak
bisa di masukkan ke dalamnya.[30]
e. Tafsir Adabi wa Ijtima’i
Pengertian secara makna kebahasaan, istilah
corak Al-adabi wa al-ijtima’i itu tersusun dari dua kata, yaitu al-adabi
dan al-ijtima’i, kata al-adaby merupakan bentuk kata yang diambil
dari fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan
sastra, sedangkan kata al-ijtima’iy yaitu mempunyai makna banyak
berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan hubungan kesosialan,
namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir
yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.
Tafsir ini berusaha menjelaskan makna atau
maksud yang dituju oleh Al-Quran dari segi balaghah dan kesastraannya serta
berupaya mengungkapkan betapa keagungan Al-Quran itu sebagai sebuah mu’jizat
mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui
petunjuk dan ajaran Al-Quran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan
dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Al-Quran dan
teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa
Al-Quran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang
perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa yang nantinya dapat
mengugah hati untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah
untuk mengetahui segala makna dan rahasia Al-Quran al-Karim tersebut.[31]
Diantara
kitab tafsir al-adaby al-Ijtima’i
adalah :
a. Tafsir Al-Manar, karya Rasyidh Ridha
b. Tafsir Al-Maraghi, karya Al-Maraghi
c. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Karya Syaikh Mahmud
Syaltut[32]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Metode
tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam
ayat-ayat al-Quran.
2.
Metode-metode
penafsiran dibagi dalam empat cara
(metode), yaitu :
a.
Metode Ijmali (Global) adalah
suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global.
b.
Metode Tahlil (analisis) adalah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c. Metode Muqaran
(Komparatif/Perbandingan) adalah
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para
mufassir.
d.
Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah
membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan.
3. Klasifikasi dan corak tafsir antara lain:
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
b. Tafsir bi Al-Ra’yi
c. Tafsir Ash-Shufi
d. Tafsir Al-Fiqhi
e. Tafsir Al-Falsafi
f. Tafsir Al-Ilimi
g. Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima
B. SARAN
Penyusun sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penyusun menyarankan kepada semua pihak yang membaca dan membahas makalah ini,
agar bisa lebih banyak lagi menambah literature-literatur supaya dapat menambah
pengetahuan kita perhadap Tafsir Al-Qur’an. Yang tentunya masih banyak
referensi-referensi terhadap makalah yang kami tulis ini.
[1] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38
[2] http://waroeng-studies.blogspot.com/2013/10/corak.html//
21-11-2014 10:12 WIB
[4] http://waroeng-studies.blogspot.com/2013/10/corak.html//
21-11-2014 10:27 WIB
[7] Drs.Badri Khaeruman,sejarah
perkembangan tafsiral-qur’an,(Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2004) hlm. 99
[8] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.39
[9] file:///E:/Waroeng%20Study%20%20Metode%20Dan%20Corak-Corak%20Tafsir.htm//
22-11-2014 09.56 WIB
[10] http://budy-lovestory.blogspot.com/2014/06/metode-tafsir-muqaran_19.html
[13] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.60
[15] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.24
[18] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.26
[21] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.27
[24] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.30
[26] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.32
[28] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.33
[31] http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai//
27-11-2014 04:12 WIB
[32] Dr.Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i (Bandung:CV.PUSTAKA SETIA,2002) Hlm.38