Kamis, 12 Maret 2015

Makalah Manajemen Syariah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan yang semakin lama semakin ketat kompetensi dalam bidang pekerjaan ini, kita dituntut untuk dapat mengatur segala sesuatu dengan sistematis. Dalam menjalankan suatu proses kerja seseorang harus mempunyai pengetahuan tentang manajemen dari pekerjaannya tersebut.
Tujuan dari manajemen sendiri adalah efisien dan efektif. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal. Oleh karena itu, disini kami akan membahas sedikit tentang manajemen dan hal yang berkaitan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian manajemen?
2.      Bagaimana sejarah manajemen ?
3.      Apa saja ruang lingkup manajemen syariah?
4.      Bagaimana perkembangan manajemen dalam Islam ?

C.     Tujuan Pembuatan
Tujuan pembuatan makalah ini agar pembaca mampu mengetahui, memahami dan mampu menjelaskan :
1.      Pengertian manajemen
2.      Ruang lingkup manajemen syariah
3.      Sejarah dan perkembangan manajemen syariah





BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Manajemen
            Manajemen dalam bahasa Arab disebut idarah. Idarah diambil dari perkataan adartasy-syai’a atau perkataan adarta bihi juga dapat didasarkan pada kata ad-dauran. Pengamat bahasa menilai pengambilan yang kedua –yaitu: ‘adarta bihi-itu lebih cepat.         
            Secara istilah manajemen itu adalah suatu aktivitas khusus menyangkut kepemimpinan, pengarahan, pengembangan, personal, perencanaan dan pengawasan terhadap pekerjaan-pekerjaan.[1]
            Sedangkan manajemen syariah adalah suatu pengelolaan untuk memperoleh hasil optimal yang bemuara pada pencarian keridhaan Allah. Oleh sebab itu maka segala sesuatu langkah yang diambil dalam menjalankan manjemen tersebut harus berdasarkan aturan-aturan Allah. Aturan-aturan itu tertuang dalam Al-Quran, hadis dan beberapa contoh yang dilakukan oleh para sahabat. Sehubungan dengan itu maka isi dari manajemen syariah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu manajemen konvensional yang diwarnai dengan aturan Al-Quran, hadis dan beberapa contoh yang dilakukan oleh para sahabat.[2]

2.      Sejarah Manajemen
Pemikiran Awal Manajemen
Sebelum abad ke-20, terjadi 2 peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pd tahun 1776, ketika Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yangg akan diperoleh organisasi dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugas-tugas yg spesifik & berulang. Dengan menggunakan industri pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu menghasilkan sepuluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dgn meningkatnya keterampilan & kecekatan tiap-tiap pekerja, menghemat waktu yg terbuang dalam pergantian tugas, & menciptakan mesin & penemuan lain yang dpt menghemat tenaga kerja.
Peristiwa penting kedua yg memengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia, yg berakibat pd pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yg disebut pabrik. Perpindahan ini mengakibatkan manajer-manajer ketika itu membutuhkan teori yg dpt membantu mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas kpd bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, & lain-lain, sehingga ilmu manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.
Manajemen di Era Manajemen Ilmiah
Era ini ditandai dgn perkembangan-perkembangan ilmu manajemen dari kalangan insinyur seperti Henry Towne, Frederick Winslow Taylor, Frederick A. Halsey, & Harrington Emerson.
Manajemen ilmiah, atau dalam bahasa Inggris disebut scientific management, dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor dalam bukunya yg berjudul Principles of Scientific Management pd tahun 1911. Dalam bukunya itu, Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah adalah “penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan sesuatu pekerjaan.” Beberapa penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku ini sebagai tahun lahirya teori manajemen modern.
Henry Gantt yg pernah bekerja bersama Taylor di Midvale Steel Company menggagas ide bahwa seharusnya seorang mampu mandor memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin (industrious ) & kooperatif. Ia juga mendesain sebuah grafik untuk membantu manajemen yang disebut sebagai Gantt chart yang digunakan ukt merancang & mengontrol pekerjaan.
Manajemen ilmiah kemudian dikembangkan lebih jauh oleh pasangan suami-istri Frank & Lillian Gilbreth. Keluarga Gilbreth berhasil menciptakan micromotion yg dpt mencatat setiap gerakan yg dilakukan oleh pekerja & lamanya waktu yg dihabiskan ukt melakukan setiap gerakan tersebut.
Era ini juga ditandai dgn hadirnya teori administratif, yaitu teori mengenai apa yg dilakukan oleh para manajer & bagaimana cara membentuk praktik manajemen yg baik.
Pada awal abad ke-20, seorang industriawan Perancis bernama Henry Fayol mengajukan gagasan 5 fungsi utama manajemen: merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, & mengendalikan.
Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sbg kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pd pertengahan tahun 1950, & terus berlangsung hingga sekarang. Selain itu, Henry Fayol juga mengagas 14 prinsip manajemen yg merupakan dasar-dasar & nilai yg menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen.
Sumbangan penting lainnya datang dari ahli sosilogi Jerman Max Weber. Weber menggambarkan sesuatu tipe ideal organisasi yg disebut sbg birokrasi. Bentuk organisasi yg dicirikan oleh pembagian kerja, hierarki yg didefinisikan dgn jelas, peraturan & ketetapan yg rinci, & sejumlah hubungan yg impersonal. Namun, Weber menyadari bahwa bentuk “birokrasi yg ideal” itu tdk ada dalam realita. Dia menggambarkan tipe organisasi tersebut dgn maksud menjadikannya sbg landasan ukt berteori tentang bagaimana pekerjaan dpt dilakukan dalam kelompok besar. Teorinya tersebut menjadi contoh desain struktural bagi byk organisasi besar sekarang ini.
Perkembangan selanjutnya terjadi pd tahun 1940-an ketika Patrick Blackett melahirkan ilmu riset operasi, yg merupakan kombinasi dari teori statistika dgn teori mikroekonomi. Riset operasi, sering dikenal dgn “Sains Manajemen”, mencoba pendekatan sains ukt menyelesaikan masalah dalam manajemen, khususnya di bidang logistik & operasi. Pada tahun 1946, Peter F. Drucker menerbitkan salah satu buku paling awal tentang manajemen terapan: “Konsep Korporasi” (Concept of the Corporation). Buku ini muncul atas ide Alfred Sloan (chairman dari General Motors) yg menugaskan penelitian tentang organisasi.
Manajemen di Era Manusia Sosial
Era manusia sosial ditandai dgn lahirnya mahzab perilaku (behavioral school) dalam pemikiran manajemen di akhir era manajemen ilmiah. Mahzab perilaku tdk mendapatkan pengakuan luas sampai tahun 1930-an. Katalis utama dari kelahiran mahzab perilaku adl serangkaian studi penelitian yg dikenal sbg eksperimen Hawthrone.
Eksperimen Hawthrone dilakukan pd tahun 1920-an hingga 1930-an di Pabrik Hawthrone milik Western Electric Company Works di Cicero, Illenois. Kajian ini awalnya bertujuan mempelajari pengaruh berbagai macam tingkat penerangan lampu terhadap produktivitas kerja. Hasil kajian mengindikasikan bahwa ternyata insentif seperti jabatan, lama jam kerja, periode istirahat, maupun upah lbh sedikit pengaruhnya terhadap output pekerja dibandingkan dgn tekanan kelompok, penerimaan kelompok, serta rasa aman yg menyertainya. Peneliti menyimpulkan bahwa norma-norma sosial atau standar kelompok merupakan penentu utama perilaku kerja individu.
Kontribusi lainnya datang dari Mary Parker Follet. Follett (1868–1933) yg mendapatkan pendidikan di bidang filosofi & ilmu politik menjadi terkenal setelah menerbitkan buku berjudul Creative Experience pd tahun 1924.[9] Follet mengajukan sesuatu filosifi bisnis yg mengutamakan integrasi sbg cara ukt mengurangi konflik tanpa kompromi atau dominasi. Follet juga percaya bahwa tugas seorang pemimpin adl ukt menentukan tujuan organisasi & mengintegrasikannya dgn tujuan individu & tujuan kelompok. Dengan kata lain, ia berpikir bahwa organisasi harus didasarkan pd etika kelompok daripada individualisme. Dengan demikian, manajer & karyawan seharusnya memandang diri mereka sbg mitra, bukan lawan.
Pada tahun 1938, Chester Barnard (1886–1961) menulis buku berjudul The Functions of the Executive yg menggambarkan sebuah teori organisasi dalam rangka ukt merangsang orang lain memeriksa sifat sistem koperasi. Melihat perbedaan antara motif pribadi & organisasi, Barnard menjelaskan dikotonomi “efektif-efisien”.
Menurut Barnard, efektivitas berkaitan dgn pencapaian tujuan, & efisiensi adl sejauh mana motif-motif individu dpt terpuaskan. Dia memandang organisasi formal sbg sistem terpadu di mana kerjasama, tujuan bersama, & komunikasi merupakan elemen universal, sementara pd organisasi informal, komunikasi, kekompakan, & pemeliharaan perasaan harga diri lbh diutamakan. Barnard juga mengembangkan teori “penerimaan otoritas” didasarkan pd gagasan bahwa bos hanya memiliki kewenangan jika bawahan menerima otoritas itu.
Manajemen di Era moderen
Era moderen ditandai dgn hadirnya konsep manajemen kualitas total (total quality management) di abad ke-20 yg diperkenalkan oleh beberapa guru manajemen, yg paling terkenal di antaranya W. Edwards Deming (1900–1993) and Joseph Juran (lahir 1904).
Deming, orang Amerika, dianggap sbg Bapak Kontrol Kualitas di Jepang. Deming berpendapat bahwa kebanyakan permasalahan dalam kualitas bukan berasal dari kesalahan pekerja, melainkan sistemnya. Ia menekankan pentingnya meningatkan kualitas dgn mengajukan teori 5 langkah reaksi berantai. Ia berpendapat bila kualitas dpt ditingkatkan, (1) biaya akan berkurang karena berkurangnya biaya perbaikan, sedikitnya kesalahan, minimnya penundaan, & pemanfaatan yg lbh baik atas waktu & material; (2) produktivitas meningkat; (3) market share meningkat karena peningkatan kualitas & harga; (4) profitabilitas perusahaan peningkat sehingga dpt bertahan dalam bisnis; (5) jumlah pekerjaan meningkat. Deming mengembangkan 14 poin rencana ukt meringkas pengajarannya tentang peningkatan kualitas.[3]

3.      Ruang Lingkup Manajemen Syariah
Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility).
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
Sementara menurut Beekun terdapat 5 aksioma dalam ekonomi islam. Sebagai yang kelima adalah benovelence atau dalam istilah lebih familiar dikenal dengan Ihsan. Ihsan adalah kehendak untuk melakukan kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan. Kelima prinsip tersebut secara operasional perlu didukung dengan suatu etika bisnis yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika bisnis syariah.[4]


4.      Perkembangan Manajemen Dalam Islam
                  Perhatian umat Islam terhadap ilmu manajemen khususnya sebenarnya dapat dilacak dari beberapa aktivitas yang ditemukan pada masa kekhalifahan Islam. Menurut langgulung (1988), terhadap beberapa penulis yang menyatakan bahwa pengembangan ilmu-ilmu yang ada saat itu tidaklah dipisahkan sebagai sistem ilmu yang berdiri sendiri, namun sebagai sistem ilmu lain. Salah satunya adalah Nizam al-idari atau sistem tatalaksana yang merupakan padanan bagi istilah manajemen yang digunakan kala itu.  
                  Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara manajemen syariah (Islam) dengan manajemen modern. Keduanya berbeda dalam hal tujuan, bentuk aturan teknis, penyebarluasan, dan disiplin keilmuannya. Disamping itu, pengembangan pemikiran modern oleh Negara Barat telah berlangsung sangat dinamis. Di satu sisi, masyarakat muslim belum optimal dalam mengembangkan kristalisasi pemikiran manajemen syariah dari penggalan sejarah yang otentik, baik dari segi teori maupun praktik. Padahal Rosulullah telah bersabda bahwa: “Telah aku tinggalkan atas kalian semua satu perkara, jika kalian berpegang teguh atasnya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya setelah ku, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah ku (Hadis)”.
                        Sesungguhnya Rosululloh dalam kapasitasnya adalah sebagai pemimpin dan imam yang berusaha memberikan metode, tata cara atau solusi bagi kemaslahatan hidup umatnya, dan yang dipandangnya relevan dengan kondisi zaman yang ada. Bahkan terkadang Rosulullah bermusyawarah dan meminta pendapat dari para sahabat atas persoalan yang tidak ada ketentuan wahyunya. Rosulullah mengambil pendapat mereka walaupun mungkin bertentangan dengan pendapat pribadinya.
                  Proses dan sistem manajemen yang diterapkan rosulullah bersifat tidak mengikat bagi para pemimpin dan umat setelahnya. Persoalan hidup terus berkembang dan berubah searah dengan putaran waktu dan perbedaan tempat. Yang dituntut oleh syariat adalah para pemimpin dan umatnya harus berpegang  teguh pada asas manfaat dan maslahah, serta tidak menyia-nyiakan ketentuan  nash syari’. Namun, mereka tidak terikat untuk mengikuti sistem manajemen Rosul dalam pemilihan pegawai, misalnya, kecuali, jika metode itu memberikan asas maslahah yang lebih, maka ia harus mengikutinya. Jika ia menolaknya, ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Dan hal ini diharamkan oleh allah dan Rosul-Nya.
                  Standar asas manfaat dan masalah  tidaklah bersifat rigid. Ia bisa berubah dari waktu ke waktu. Dan dari satu  tempat ke tempat lainnya. Untuk itu, manajemen dalam  islam bersandar pada hasil ijtihad pemimpim dan umatnya. Dengan catatan, ia tidak boleh bertentangan dengan konsep dasar dan prinsip hukum utama yang bersumber dari alqur’an dan al-sunnah, serta tidak bertolak belakang dengan rincian hukum syara’ yang telah dimaklumi. Umat muslim masih memiliki ruang untuk melakukan inovasi atas persoalan detail yang belum terdapat ketentuan syari’nya.[5]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                        Jadi manajemen adalah suatu aktivitas khusus menyangkut kepemimpinan, pengarahan, pengembangan, personal, perencanaan dan pengawasan terhadap pekerjaan-pekerjaan. Sedangkan manajemen syariah yaitu suatu pengelolaan untuk memperoleh hasil optimal yang bemuara pada pencarian keridhaan Allah. Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility). Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.

B.     Saran
                        Penyusun sangat menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menyarankan kepada semua pihak yang membaca dan membahas makalah ini, agar bisa menambahkan literature-literatur supaya dapat menambahkan pengetahuan kita.
Daftar Pustaka

Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta:Ekonisia, 2004.




[1] Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah,(Yogyakarta:Ekonisia,2004),hal 13-14
[2] http://manajemenislam.wordpress.com/2013/03/03/manajemen-syariah/
[3] http://manajemenislam.wordpress.com/author/khoirilarief/
[4] http://reza-rahmat.blogspot.com/favicon.ico
[5] http://zenal-pml.blogspot.com/favicon.ico

6 komentar: