A. PENDAHULUAN
Dewasa
ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank
dan pasar uang. Oleh karena itu tidak mengherankan bila beberapa cendekiawan
dan ekonom melihat bahwa Islam dengan tatanan dan sistem normatifnya sebagai
faktor penghambat pembangunan. Asumsi diatas adalah salah total. Terbukti
dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia serta resesi dan
ketidakseimbangan ekonomi global. Sebagian para ekonom beranggapan bahwa sistem
ekonomi pada transaksi syari’ah dan konvensional tidak ada perbedaan. Pada bab
ini pemakalah akan menyajikan dua diantara beberapa transaksi yang berbasis
Islam. Yaitu hukum bagi hasil dan riba, yang merupakan suatu teori yang mampu
membuktikan bahwa ada perbedaan antara sistem bagi hasil dan sistem bunga pada
bank konvensional, serta hukum dari bagi hasil itu sendiri dan riba dari suatu
transaksi.
B. PEMBAHASAN
1. Hukum Bagi Hasil
Secara
umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah dapat dilakukan dalam empat
akad utama, yaitu al-Musyarakah, al-Mudharabah, al-Muzaraah dan al-Musaqah.
Namun prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-Musyarakah dan
al-Mudharabah, sedangkan al-Muzaraah dan al-Musaqah digunakan untuk pembiayaan
pertanian oleh beberapa bank Islam.
a. Al-Musyarakah
1) Pengertian al-Musyarakah
Al-Musyarakah adalah
akad kerja sama antaradua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dari resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[1]
2) Landasan Syari’ah
· Al-Qur’an
... فَهُمْ شُرَ كَاءُ فِى الُّثلُثِ...
... maka mereka
berserikat pada sepertiga... (QS an-Nisaa’:12)
وَاِنَّ
كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّأ اَّلذِيْنَ
ءَامَنُوْاوَعَمِلُو
االصَّلِحَتِ
Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim
kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh. (QS Shaad:24).
Kedua ayat diatas
menunjukkan perkenaan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam
kepemilikan harta. Hanya saja dala QS an-Nisa’:12 perkongsian terjadi secara
otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam QS Shaad:24 terjadi atas
dasar akad (ikhtiyari).
· Al-Hadits
{ عَنْ أَبِي هُر يْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ اِنَ للهَ يَقُوْلُ أَنَا
ثَا لِثُ الشَّرِ يْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُ هُمَا صَا حِبَهُ }
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
berfirman, aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satu
tidak mengkhianati lainnya”. (HR Abu Dawud dalam kitab al-Buyu, dan Hakim).
· Ijma’
Ibnu Qudamah dalam
kitabnya al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsekuensi
terhadap legitimasi musyarakah secara global meskipun terdapat perbedaan
pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
3) Jenis-jenis al-Musyarakah
Ada
dua jenis al-Musyarakah, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah
akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat,
atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemikiran satu aset oleh dua orang atau
lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi
dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset
tersebut.
Musyarakah
akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa
tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah mereka pun sepakat berbagi
keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi al-‘inan,
al-mufawadhah, al-a’maal, al-wujuh, dan al-mudharabah.
· Syirkah al-Inan
( شركة العنان) adalah kontrak antara
dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana
dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan
kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi
masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus
sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
· Syirkah Mufawadah
(( شركة المفاوضة
adalah
kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Syarat utama dari jenis al-musyarakah
ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang
dibagi oleh masing-masing pihak.
· Syirkah A’maal
(( شركة الأعمال
adalah
kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama
dan berbagi keuntungan dari pekerjaan tersebut. Misalnya, kerjasama dua orang
penjahit untuk menerima order pembuatan seragam.
· Syirkah Wujuh
( شركة الوجوه) adalah kontrak antara dua orang atau
lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka
membeli barang secara kredit dan menjual barang secara tunai, berbagi dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan
oleh tiap mitra. Jenis al-Musyarakah ini tidak memerlukan modal
dan lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
·
Syirkah
Mudharabah.[2]
b. Al-Mudharabah
1) Pengertian al-Mudharabah
Al-Mudharabah
adalah akad kerjasama antara usaha dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola
(mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
2) Landasan Syari’ah
Secara umum, landasan
dasar syari’ah al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.
· Al-Qur’an
... وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُو نَ فِى آلْأَرْضِيَبْتَغُوْ
نَ مِنْ فَضْلِ أللهِ...
... dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT... (Al-Muzzamil:20).
Yang menjadi wajhud-dilalah
atau argumen dari QS al-Muzzamil:20 adalah adanya kata yadhribun yang
sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu
perjalanan.
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَوَةُ فَا نْتَشِرُوافِى اْلأرْضِوَابْتَغُوْا مِنْ فِضْلِاللهِ
...
Apabila telah
ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah
SWT... (QS al-Jumuah:10).
· Al-Hadits
{ رَوَ ى بْنُ عَبَّاسُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّهُ قَالَ :
كَانَ سَيِّدِنَا العَبَّاسُ بِنْ عَبدِالْمُطَلِّبْ إذَا دَفَعَ اْلمَالَ
مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلىَصَا حِبِهِ
أَنْ لَايَسْلُكُ بِهِ بَحْرًا وَلَا يَنْزِلُ بِهِ وَاَدِياً وَلاَ
يَشْتَرِى بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبَدِ رَ طْبَةٍ فَإٍ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمَنَ
فَبَلَغَ شُرْ طَهُ رَسُولَ اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ }
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana
ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengerungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi aturan tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah
saw. dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR Thabrani).
{ عَنْ صَالِحِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُو
لُالله عَلَيهِ وَسَلَّمَ ثَلاَ ثٌ فِيهِنَّ الْبَرَ كَةُ الْبَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ
وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلاَ طُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ لا لِلْبَيْعِ }
Dari Shalih bin
Shuhaib ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang didalamnya terdapat
keberkatan: jualbeli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”.(HR Ibnu
Majjah, kitab at-Tijarah).
3) Jenis-jenis al-Mudharabah
· Mudharabah Mutlaqah, adalah bentuk
kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cangkupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan derah bisnis.
· Mudharabah Muqayyadah, adalah kebalikan
dari mudharabah mutlaqah, mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu
atau tempat usaha.[3]
4) Berakhirnya akad al-Mudharabah
Menurut Wahbah az-Zuhaili, akad
mudharabah menjadi batal apabila:
· Salah satu syarat sah mudhabah tidak
terpenuhi
· Pekerja melampaui batas atau ceroboh
dalam memlihara atau menjaga harta dan menghilangkan tujuan akad. Dalam keadaan
seperti ini, pengelola modal harus
mengganti kerugian yang disebabkan oleh kecerobohannya itu.
· Pekerja atau pemilik modal meninggal
dunia. Apabila pemilik modal meninggal dunia, pengelola tidak berhak
mempergunakan modal itu lagi kecuali dengan izin ahli waris pemilik modal.
Tetapi menurut ulama Malikiyah, bahwa akad mudharabah tidak menjadi batal
dengan meninggalnya salah satu pihak.[4]
c. Al-Muzara’ah
1) Pengertian al-Muzara’ah
Al-Muzara’ah
adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan pengelola
lahan, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada pengelola untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil
panen.
2) Landasan Syari’ah
· Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu
Umar bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya
(ketika mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil
buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh
Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah
tanahnya secara muzara’ah dengan rasio Bgi hasil 1/3 : 2/3, ¼ : ¾, ½: ½, maka
Rasulullah pun bersabda, hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk
digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah
tanahnya.
· Ijma’
Bukhari mengatakan
bahwa telah berkata Abu Jafar, “Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali
penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4.
Dan hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu
Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dak keluarga
Ali”.[5]
d. Al-Musaqah
1) Pengertian al-Musaqah
Al-Musaqah
adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana penggarap hanya
bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, penggarap
berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
2) Landasan Syari’ah
· Al-Hadits
Ibnu Umar berkata bahwa
Rasulullah saw. pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada
Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka.
Sebagai imbalan, mereka memperoleh preentase tertentu dari hasil panen.
· Ijma’
Telah berkata Abu
Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib ra. bahwa Rasulullah
saw. telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas
dasar bagi hasil. Ha ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta
keluarga-keluarga mereka dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukam oleh
Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya,
tetapi tak ada seorang pun yang menyanggahnya.[6]
2. Hukum Riba
a. Definisi Riba
Riba (( الربا
menurut pengertian bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang (an-numuw),
meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al’uluw).[7]
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil.[8]
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan
riba, dalam hal ini Imam Shrakhi dalam
kitab Al-Mabsut menyebutkan bahwa tambahan yang termasuk riba adalah
tambanhan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwad yang
dibenarkan syari’at atas penambahan tersebut. Sementara Badr ad-Dien al-Ayni
dalam kitab Umdatul Qari mengatak bahwa tambahan yang termasuk riba adalah
tambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Menurut Sayyid
Sabiq dalam kitab fiqih sunnah, yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal
baik penambahan itu sedikit atau banyak . demikian juga menurut Ibn Hajar
Askalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk barang mmaupun uang.
Beberapa perbedaan definisi riba
dikalangan ulama ini lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing
ulama mengenai riba didalam konteks hidupnya. Sehingga, meskipun terdapat
perbedaan dalam pendefinisiannya, tetapi subtansi dari definisi ttersebut sama.
Secara umum ekonom muslim tersebut menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam
meminjam yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.[9]
Mengenai
hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا
لَا تَأْكُلُوْا أَمْوَلَكٌمْ بَيْنَكُمْ بِا اْلبَطِلِ...
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil.... (an Nisaa’:29)
Dalam kaitannya dengan pengertian
al-batil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam
al-Qur’an menjelaskan:
( والربا في اللغة هو الزيادة والمراد به في
الاية كل زيادة لم يقا بلها عوض )
Pengertian
riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani
yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti
atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa atau
bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, penyewa membayar upah sewa karena
adanya manfaat sewa, penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan
oleh penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti
menururn jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, pembeli membayar
harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi
hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana,
secara konvensional, pemberi pinjaman memberi tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu penyeimbang yang diterima peminjam kecuali kesempatan dan faktor
waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini
adalah peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak dan
pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan
berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor
orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan jika orang tersebut
mengusahakan bisa saja untung atau rugi.[10]
b. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah
1) Al-Qur’an
Al-Qur’an telah
memberikan pelajaran mengenai perilaku yang baik untuk menerima pengembalian
pinjaman dalam bentuk jumlah tetap sama dengan nilai pokok yang dipinjamkan,
serta mengajarkan untuk meringankan dan bahkan membebaskan seluruh beban hutang
debitur, jika pihak yang memberi pinjaman (kreditur) mampu untuk melakukannya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan: “lebih baik bagimu jika membebaskan sebagian atau
semua hutang sebagai sedekah”.(QS. Al-Baqarah:280).[11]
· QS Ar-Ruum[30] :39
Tahap pertama, menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang
memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
وَمَا
ءَاتَيْتُمْ مِّنْ رَّبًا لِّيَرْبُوَا فِيْ أَمْوَالِ النَّاسِ فّلَا يَرْبُوْا
عِنْدَ اللهِ وَمَا ءَا تَيْتُمْ مِّنْ زَكَوَةً تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللهِ
فَأُوْلَئِكَهُمُ اْلمُضْعِفُوْنَ
Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS Ar-Ruum[30]:39).[12]
·
QS
An-Nisaa’[4]:161
Tahap kedua,
digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi
balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.[13]
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِ ينَ هَادوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَا تٍ أَحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللّهِ كَثِيرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْنُهُوا عَنهُ
وَ أَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِ البَاطِل وَ أَعْتَدْنَا لِلْكَا فِرِينَ
مِنْهُمْ عَذَابًاأَ لِيْمًا
Tafsir Jalalain
160. فَبِظُلْمٍ(maka karena keaniayaan) artinya
disebabkan keaniayaan
مِنَ
الَّذِ ينَ هَادوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَا تٍ أَحِلَّتْ لَهُمْ (dari orang-orang
Yahudi, Kami haramkan atas mereka makanan yang dihalalkan bagi mereka dulu) yakni
yang tersebut dalam firman-Nya swt “Kami haramkan yang berkuku..”. – وَبِصَدِّهِمْ(juga karena mereka menghalangi) manusia
عَنْ سَبِيلِ اللّهِ(dari jalan Allah) maksudnya
agama-Nya – كَثِيرًا(banyak).
161. وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْنُهُوا عَنهُ (Dan karena
memakan riba padahal telah dilarang daripadanya)dalam
taurat - وَ أَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ
بِ البَاطِل(dan memakan harta orang dengan jalan
bathil) dengan memeberi suap dalam pengadilan, -
وَ أَعْتَدْنَا لِلْكَا فِرِينَ مِنْهُمْ
عَذَابًاأَ لِيْمًا(dan telah Kamisediakan untuk orang-orang
kafir itu siksa yang pedih) atau menyakitkan.[14]
Asbabun Nuzul
Ayat ini adalah ayat
Madaniyyah, yaitu diturunkan dikota Madinah. Ayat ini merupakan kisah tentang
orang-orang Yahudi. Allah swt mengharamkan kepada mereka riba akan tetapi
mereka tetap mengerjakan perbuatan ini.
Kandungan Ayat
Dari
ayat tersebut dijelaskan bahwa riba adalah perbuatan yang menyebabkan atau
mengakibatkan kedzaliman dan aniaya sehingga Allah SWT melarang dan menyiapkan
tenpat yang sesuai untuk orang—orang yang melakukan riba. Dalam ayat tersebut
Allah menjelaskan bahwa riba adalah perbuatan yang bathil dan aka nada siksa
yang pedih apabila ada orang yang melakukannya.
·
QS
‘Imran[3] :130
Tahap ketiga, riba
diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.[15]
يَآيَّهَا
الَّذِيْنَ امَنُوْاالاَتَأْ كُلُوالرِّبوآاَعَفًا مُضَفَةًصلىوَّاتَّقُواللّه
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَج
Tafsir
Jalalain
يَآيَّهَا
الَّذِيْنَ امَنُوْاالاَتَأْ كُلُوالرِّبوآاَعَفًا مُضَفَةًصلى(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda) maksudnya ialah memberikan tambahan pada harta yang
bukan menjadi haknya. Dengan adanya tambahan tersebut maka riba diharamkan.- وَّاتَّقُواللّه(dan bertakwalah kamu kepada Allah) dengan
menghindarinya - ل َعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَج
(supaya kamu memperoleh keberuntungan) atau
hadil yang gemilang.[16]
Asbabun
Nuzul
Termasuk dalam ayat
Madaniyyah, yang diturunkan di Madinah. Menjelaskan tentang kebiasaan orang
arab yang sering mengambil riba. Kebiasaan suka Tsaqif yang biasa berhutang
kepada Bani Nadhir di masa jahiliyah, maka jika telah jatuh temponya mereka
tambah harganya dan perpanjangan waktunya. Maka turunlah ayat ini.[17]
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami
bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jika
bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jika bunga kecil bukan tergolong riba),
tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu.[18]
Kandungan
Ayat
Dalam
ayat ini jelas sekali bahwa melakukan riba adalah haram dan dilarang. Serta
merupakan perintah untuk taat kepada Allah swtriba diharamkan karena merupakan
suatu tambahan yang berlipat ganda. Dan jika dalam kurun waktu yang tentukan
belum juga bisa membayar maka akan semakin bertambah, maka semakin tidak mampu
dan semakin teraniaya.
·
QS
Al-Baqarah[2] : 278-279
Tahap terakhir, Allah
SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan mengenai riba.[19]
يَآيَّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا
اتَّقُوااللّهَ وَذَرُوْا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبواانْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
فَاِنْلَّمْءتَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْابِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهجوَاِنْ
تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَلِكُمْجلاَتَظْلِمُوْنَ
وَلاَتُظْلَمُونَ
Tafsir Jalalain
278. يَآيَّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اتَّقُوااللّهَ
وَذَرُوْا(Hai orang-orang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan tinggalkanlah) maksudnya jauhilah - مَابَقِيَ
مِنَ الرِّبواانْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ(sisa
yang tinggal dari riba, jika kamu beriman) dengan
sebenarnya, karena sifat atau ciri-ciri orang beriman adalah mengikuti perintah
Allah Ta’ala.
279. فَاِنْلَّمْءتَفْعَلُوْا(jika kamu tak mau melakukannya) yakni
apa yang diperintahkan itu, - فَأْذَنُوْا(maka ketahuilah) datangnya - بِحَرْبٍ
مِّنَ اللهِ(serbuan dari Allah dan Rasul-Nya) terhadapmu.
Ayat ini berisi tentang ancaman keras kepada mereka, hingga ketika ia turun,
mereka mengatakan “tidak ada daya kita untuk mengatasi serbuan itu!” –
وَاِنْ
تُبْتُم(dan jika kamu bertobat) artinya
menghentikannya, -
فَلَكُمْ
رُءُوْسُ(maka bagi kamu pokok) atau
modal - اَمْوَلِكُمْجلاَتَظْلِمُوْنَ(hartamu, hingga kamu tidak menganiaya) dengan
mengambil tambahan وَلاَتُظْلَمُونَ (dan tidak pula teraniaya)
dengan menerima jumlah yang kurang.
Asbabun Nuzul
Termasuk ayat
Madaniyyah, kecuali ayat 281 turun di Mina sewaktu Haji Wada’. Ayat ini turun
karena Bani Amr bin Auf dari suka Tsaqif dan Bani Mughirah. Bani Mughirah
memeberikan bunga uang kepada Tsaqif. Tatkala Makkah dikuasakan Allah kepada
Rasulullah, maka ketika itu seluruh riba dihapuskan. Maka datanglah Bani Amr
dan Bani Mughirah kepada Atab Ibnu Usaid yang ketika itu menjadi pemimpin
muslimin di Makkah. Kata Bani Mughirah: “Tidakkah kami dijadikan
secelaka-celaka manusia mengenai riba, karena terhadap seluruh manusia
dihapuskan, tetapi pada kami tidak?” Jawab Bani Amr :dalam perjanjian damai
diantara kami disebutkan bahwa kami tetap memperoleh riba kami”. Atab pun
mengirim surat kepada Nabi saw mengenai hal itu, maka turunlah ayat ini.[20]
2) Hadits
Di antara litertaur
hadits yang menerangkan tentang praktek riba pada masa pra-Islam yang telah
dijelakan oleh nabi sangat sedikit. Dalam salah satu sabdanya nabi mengatakan:
bahwa “semua bentuk (transaksi) riba pada masa pra-Islam adalah batal dan tidak
berlaku.[21]
( أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيَّ رَضِيَ الله عَنْهم
قَالَ جَاءَ بِلَالٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرٍ
بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ
هَذَا قَالَ بِلالٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَا عَيْنِ
بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبيّ صَلَّى الله عليه وَ سَلَّم فَقَالَ النَّبِيُّ صلى
الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ
الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَ لَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعِ التَّمْرَ
بِبَيْعٍ اَخَرَ ثُمَّ اْشتَرِهِ )
Dari Abu Said ra
pada suatu hari Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu
Rasulullah saw bertanya kepadanya: “Kurma siapa ini?”, jawab Bilal “Kurma kita
rendah mutunya, karena itu kutukar dua gantung dengan satu gantung kurma ini
untuk makan Nabi saw”. maka bersabda Rasulullah saw, “Inilah disebut riba
jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma
(yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian
dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus”. (HR Muslim dan Ahmad,
dalam kitab al-Wakalah).
(
عَن أبي سعيد الخدري قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الذّهب با لذّهب والفضّة
بالفضة والبر بالبر والشّعيربالشعير والتمر بالتمروالملح بالملح مثلا بمثل يدا بيد
فمن زاد أو استزاد فقد أربى الاخد والمعطى فيه سواء )
Diriwayatkan
oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Emas hendaknya dibayar
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan
(tunai). Barag siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia
telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah”.(HR
Muslim, dalam kitab al-Masaqqah).
{ رَوَي ا لْحَا كِمُ عَنِ ا بْن مَسْعُوْدَأَنَّ النَّبِيَّ قَالَ
: الرِ بَا ثَالَاثَةٌ وَ سَبْعُوْنَ بَابًاأَيْسَرُ هَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّ
جُلُ أُمَّهُ}
Al-Hakim
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw. bersabda “Riba itu mempunyai 73
pintu ( tingkatan); yang palin rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang
melakukan zina dengan ibunya”
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku
adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat
petunjuk dari-Nya. (mereka itu adalah peminum arak, pemakan riba, pemakan harta
anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab atau menelantarkan ibu dan
bapaknya)”
{عَنْ
جَا بِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ا كِلَ الرِّ
بَا وَمُؤْ كِلَهُ وَ كَا تِبَهُ وَشَا هِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ}
Jabir berkata
bahwa Rasulullah saw. mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian
beliau bersabda “Mereka itu semuanya sama”. HR Muslim, dalam kitab al-Musaqqah).[22]
Hadits lain:
Dari Ubadah bin
Shamid bahwa Rasulullah saw bersabda, “Emas dengan emas, biji dan zatnya harus
sebanding timbangannya. Perak dengan perak, biji dan zatnya harus sebanding
timbangannya. Garam dengan garam, kurma dengan kurma, bur dengan bur syair
dengan syair, sama dan sepadan. Maka siapa saja yang menambah atau minta
tambaha, maka dia telah melakukan riba.” (HR Imam Nasa’i)
Dari Abu Said
al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Jangan melebih-lebihkan satu dengan
lainnya; janganlah menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara; dan
jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak
tampak. (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nisa’i dan Ahmad).[23]
c. Berbagai Fatwa tentang Riba
Hampir
semua majelis fatwa dari kalangan organisasi warga masyarakat Islam yang
berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama telah membahas
Riba. Untuk itu, kedua organisasi besar tersebut mempunyai lembaga ijtihad,
yaitu majlis tarjih di pihak Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il dipihak
Nahdatul Ulama’.
1) Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih
Muhammadiyah telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi atau keuangan
diluar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum
(1976), dan koperasi simpan pinjam (1989). Sebagai contoh Majlis tarjih
Sidoarjo Pada tahun 1968 memutuskan : status hukum riba adalah haram
berdasarkan nash sharih dari al-Qur’an dan as-sunnah. Oleh karena itu, bank
yang menggunakan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
2) Lajnah Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama’
Melalui beberapa kali
sidang memutuskan mengenai bank dan pembangunan uang sama dengan status hukum
gadai. Mengenai hal dimaksud terdapat tiga pendapat ulama, yaitu (a) haram,
sebab utang yang dipungut rente (b) halal, sebab tidak ada syarat pada waktu
aqad. (c) syubhat (tidak tentu halal dan haramnya) sebab para ahli hukum berselisih
pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan
pandangan, lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah
pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.
3) Mufti negara Mesir
Keputusan kantor Mufti
negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat
sekurang-kurngnya sejak tahun 1990 sampai 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir
memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
4) Fatwa MUI tentang keharaman bunga Bank
Ijtima Ulama Komisi
Fatwa Majlis Ulama (MUI) se-Indonesia menetapkan bahwa bank, asuransi, pasar
modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupum individu yang
melakukan praktik pembungaan adalah haram. Karena hal tersebut mengandung unsur
riba.[24]
d. Wacana riba dalam fiqih
Aturan-aturan umum yang diberikan oleh para ulama mengenai riba dalam kaitannya dengan
transaksi jual beli dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Jika komoditi yang ditransaksikan meliputi
emas, perak, gandum, kurma, dan garam, serta sejenis komoditi lainnya yang
semisal ditentukan melalui metode qiyas, maka transaksinya harus
dilakukan secara langsung (dari person ke person), tidak boleh ditangguhkan,
dan kadarnya harus sama. Karena penangguhan penyerahan komoditi yang
menyebabkan meningkatnya salah satu nilai tukar komoditi adalah termausk riba.
2) Jika komoditi yang ditransaksikan
berbeda (misal:emas dengan perak, gandum dengan kurma), maka proses transaksinya
harus secara langusng (dari person ke person). Namun tidak ada ketentuan yang
mengharuskan sama kadarnya. Apabila salah satu komoditi ditukarkan pada masa
sekarang dan yang lainnya ditangguhkan, maka keduanya tidak ditentukan dalam kadar yang sama, harus disesuaikan dengan
masa peredarannya.[25]
e. Macam-macam Riba
Secara
garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba
jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan
riba Nasi’ah:
1) Riba Qardh (ربا
القرض)
Suatu manfaat atau
tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (mutarridh).
2) Riba Jahiliyah (ربا الجاهلية)
Utang dibayar lebih
dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang
ditetapkan. Riba Jahiliyyah dilarang karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ah
fahuwa riba”. (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi
penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasi’ah, dari segi
kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadhl.
3) Riba Fadhl (ربا الفضل)
Riba Fadhl disebut juga
Riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran sejenis yang tidak memenuhi
kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi
sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin), pertukaran seperti ini
mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi
kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.
Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak,
kedua pihak dan pihak-pihak yang lain.
4) Riba Nasi’ah ( (ربا النسه
Riba Nasi’ah
disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang
tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil
ghunmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi
semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban hanya karena
berjalannya waktu. Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan
jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.[26]
f. Prinsip-Prinsip Riba
Prinsip-prinsip untuk
menentukan adanya riba didalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari
sabda Rasulullah saw:
1) Pertukaran barang yang sama jenis dan
nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit maupun tunai mengandung
unsur riba. Contoh, adanya unsur riba didalam pertukaran satu ons emas dengan
setengah ons emas.
2) Pertukaran barang yang sama jenis dan
jumlahnyaa, tetapi berbeda nilai atau harganya dan dilakukan secara kredit,
mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini akan terbebas dari unsur riba jika
dijalankan dari tangan ke tangan secara tunai.
3) Pertukaran barang yang sama nilai atau
harganya tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya, serta dilakukan secara kredit
mengandung unsur riba. Tetapi apabila pertukaran dilakukan secara tunai maka
terbebas dari unsur riba. Contoh, jika satu ons emas mempunyai nilai yang sama
dengan satu ons perak. Kemudiann dinyatakan sah apabila dilakukan pertukaran
dari tangan ke tangan secara tunai. Sebaliknya, transaksi ini dilarang apabila
dilakukan secara kredit karena adanya unsur riba.
4) Pertukaran barang yang berbeda jenis,
nilai dan kuantitasnya baik secara kredit maupun dari tangan ke tangan terbebas
dari riba sehinga diperbolehkan. Sebagai contoh garam dengan gandum dapat
dipertukarkan baik dari tangan ketangan
maupun secara kredit dengan kuantitas sesuai dengan yang disepakati oleh kedua
belah pihak.
5) Jika barang itu campuran yang mengubah
jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas yang berbeda baik secara kredit
maupun dari tangan ke tangan, terbebas dari unsur riba sehingga sah. Contoh,
perhiasan emas ditukar dengan emas atau gandum dengan tepung gandum.
6) Didalam perekonomian yang berazaskan
uang, dimana harga barang ditentukan dengan standar mata uang suatu negara,
pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda, baik secara kredit
maupun dari tangan ke tangan, keduanya terbebas dari riba, oleh karena itu
diperbolehkan. Contoh, satu grade gandum dijual seberat 10 kg per dolar,
sementara grade gandum yang lain 15 kg per dolar. Kedua grade
gandum ini dapat ditukarkan dengan kuantitas yang tidak sama tanpa merasa ragu
adanya riba karena transaksi itu dilakukan berdasarkan ketentuan harga gandum,
bukan berdasarkan jenis atau beratnya.[27]
g. Dampak Negatif Riba
1) Dampak ekonomi
Diantara dampak ekonomi
riba adalah dampak infantloir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang.
Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah
suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi pula harga yang
ditetapkan suatu barang. Dampak lainnya
adalah utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya
bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan,
terlebih jika bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah
utang negara-negara berkembang pada negara maju. Meskipun dengan suku bunga
rendah, pada akhirnya negara-negara peminjam harus berutang lagi untuk membayar
bunga dan pokoknya.[28]
2) Sosial kemasyarakatan
· Riba dapat menimbulkan permusuhan antara
pribadi dan mengurangi semangat kerja sama dan saling tolong menolong.
· Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros
dan pemalas.
· Riba pada kenyataannya adalah pencurian,
karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi selain sebagai
alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan barang sama.
· Yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin. Bagi orang yang mempunyai pendapatan lebih akan banyak memunyai
kesempatan untuk menaikkan pendapatannya dengan membungakan pinjaman pada orang
lain. Sedangkan bagi yang berpendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam
membayar utang tetapi harus memikirkan bunga yang akan dibayarkan.[29]
C. KESIMPULAN
Dari
pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan
dari harta pokok atau modal secara bathil. Dan hukum riba adalah haram.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat para ulama, namun pada intinya sama, yaitu
mereka mengharamkan praktik riba dalam kegiatan perekonomian.
Sedangkan
dalam bagi hasil, terdapat beberapa jenis diantaranya al-Musyarakah, al-Mudharabah, al-Muzara’ah
dan al-Musaqqah. Untuk al-Muzara’ah dan al-Musaqqah lazim digunakan
dalam pembiayaan pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar