Kamis, 19 Januari 2017

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

A.    Pengertian-pengertian
Dalam pembahasan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan, akan dijumpai beberapa pengertia-pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut antara lain adalah:
1.      Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan  (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan  ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak.
2.      Perolehan hak atas tanah dan bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.      Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.[1]
B.     Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perolehan  hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
1.      Pemindahan hak yang disebabkan oleh:
a.       Jual beli
b.      Tukar-menukar
c.       Hibah
d.      Hibah wasiat
e.       Waris
f.       Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g.      Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h.      Penunjukan pembeli dalam lelang
i.        Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j.        Penggabungan usaha
k.      Peleburan usaha
l.        Pemekaran usaha
m.    Hadiah
2.      Pemberi hak baru yang meliputi:
a.       Kelanjutan  pelepasan hak atau
b.      Di luar pelepasan hak
Hak atas tanah dapat berupa:
1.      Hak milik
2.      Hak guna usaha
3.      Hak guna bangunan
4.      Hak pakai
5.      Hak milik atas satuan rumah susun, atau
6.      Hak pengelolaan[2]
C.    Dasar Hukum BPHTB
Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :
1.      Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
2.      Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah
3.      Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena pembeerian Hak Pengelolaan
4.      Pertauran Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB
D.   
BPHTB= Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif
             = (NPOP – NPOPTKP) x 5 %
 
Tarif Pajak


Contoh:
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 70.000.000,00. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di Kabupaten /Kota tersebut Rp 60.000.000,00.
Nilai Perolehan Objek Pajak                                       Rp 70.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak          Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak                    Rp 10.000.000,00
BPHTB yang terutang = Rp 10.000.000,00 x 5 %  = Rp 500.000,00[3]
E.     Tarif Pajak
(Pasal 5 UU No. 21 tahun 1997 jo. UU No. 20 tahun 2000) Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5%[4].
F.     Nilai Perolehan Objek Pajak
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai perolehan objek pajak tersebut terdiri drai harga transaksi dan nilai pasar. Harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak yang berssangkutan. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah atau bangunan.
Apabila nilai perolehan objek pajak tidak diketahui atau lebih rendah darpada nilai jual objek pajak yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan[5].
Contoh:
Wajib pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengna nilai perolehan objek pajak (harga transaksi) Rp 30.000.000,00. Nilai jual objek pajak bumi dan bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah sebesar Rp 35.000.000,00, maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea perolehan atas tanah dan bangunan adalah Rp 35.000.000,00 dan bukan Rp 30.000.000,00.
Apabila nilai jual objek pajak bumi dan bangunan tersebut belum ditetapkan, maka besarnya nil;ai jual objek pajak bumi dan bangunan ditetapkan oleh Menteri.
Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan secara regional (untuk masing-masing kabupaten atau kota) paling banyak Rp 60.000.000,00, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00. NPOPTKPdapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangn perekonomian regional.
Contoh:
1.      Pada tanggal 1 Februari rahun 2001, Wajib pajakl “A” membeli tanah yang terletak di kabupaten “AA” dengan Nilai Perolehan  Objek Pajak (NPOP) Rp 50.000.000,00. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak, selain karena waris atau hibah waasiat  yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, untuk kabupaten “AA” ditetapkan  sebesar Rp 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.      Pada tanggal 1 Februari 2001, wajib pajak “B” mmebeli tanah dan bangunanyang terletak di kabupaten “AA” dengan NPOP Rp 100.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak, selain karena waris aatu hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubunganm keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atausatu derajat ke bawah dengan pemebri hibah wasiat, termasuk suami/isteri, untuk Kabupaten “AA” ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp 100.000.000,00 dikurangi Rp 60.000.000,00 sama dengan Rp 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
3.      Pada tanggal 2 Maret 2001, wajib pajak “C” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di kopta “BB” dengan NPOP Rp 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk kota “BB” ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp 400.000.000,00 dikurangi Rp 300.000.000,00 sama dengan Rp 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4.      Pada tanggal 2 februari 2001, wajib pajak orang pribadi ‘D” mendaftarkan hibah wasiat dsari orang tua kandung berupa sebidang tanah yang terletak di kota “BB” dengan NPOP Rp 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterimaa orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, untuk kota BB ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan[6].
G.    Surat Keterangan Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang harus dibayar. SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan  hasill pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. SKBKB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB[7].
Contoh:
Wajib pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 2001.
Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp 110.000.000,00
Nilai perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Rp   30.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
Rp  80.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% X Rp 80.000.000,00 =
Rp    4.000.000,00
            Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 2001, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukan bahwa nilai Perolehan Objek Pajak sebenarnya adalah Rp 160.000.000,00 maka pajak yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut :
Nilai perolehan objek pajak                                                     Rp 160.000.000,00
Niali perolehan objek pajak tidak kena pajak                         Rp   30.000.000,00
Nilai perolehan objek pajak kena pajak                                   Rp 130.000.000,00
Pajak yang seharusnya terutang= 5% x Rp 130.000.000,00= Rp 6.500.000,00
Pajak yang telah dibayar                                                         Rp 4.000.000,00
Pajak yang kurang dibayar                                                      Rp 2.500.000,00
Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2001 sampai dengan 30 Desember 2001
= 10 x 2% x Rp 2.500.000,00 = Rp 500.000,00
Jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp 2.500.000,00 + Rp 500.000,00 = Rp 3.000.000,00[8].
H.    Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data beru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar[9].
Contoh:
Pada tahun 2010, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh data baru bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak ternyata adalah Rp 360.000.000,00. Nilai perolehan hak selain karena waris  atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungna keluarga  sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten Sukamaju ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00, maka BPHTB yang terutang adalah sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak                                                   Rp 360.000.000,00
Nilai perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak                      Rp   60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak                                Rp 300.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 300.000.000 x 5% =     Rp   15.000.000,00
BPHTB yang telah dibayar                                                     Rp   12.500.000,00
BPHTB yang kurang dibayar                                                 Rp     2.500.000,00
Sanksi administrasi kenaikan = 100% x Rp 2.500.000,00 = Rp 2.500.000,00
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKBT =
Rp 2.500.000,00 = Rp 2.500.000,00 = Rp 5.000.000,00[10]
I.       Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tamabahan (STB)
STB adalah surat untuk melakuakn tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STB diterbitkan apabila:
1.      Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
2.      Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) terdapat kekurangan pembayarn  pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung
3.      Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bungan dan atau denda
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana dimaksud dalam poin 2a dan 2b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu palaing lama 24 bulan sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin 2c tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi. STB mempunyai kekuatan yang sama  dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan  dengan surat paksa[11].
J.      Keberatan dan Banding
1.      Keberatan
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a.       Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar,
b.      Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
c.       Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar,
d.      Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan pangihan pajak.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan  sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas  Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh wajib pajak, kecuali wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan  atas keberatan yang diajukan. Apanila jangka waktu 12 bulan tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, maka keberatan  yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan[12].
2.      Banding
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas  dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak keputusan keberatan diterma dan dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Apabila pengajuan keberatan  atau permohonanbanding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan[13].
K.    Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, antara lain dalam hal:
1.      Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang
2.      Pajak yang teruitang sudah dibayar oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.
setelah melakukan pemeriksaan (baik pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan lapangan), Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan:
1.      SKBLB, apabila:
a.       Pajak yang dibayar ternyata lebih besar dari pada jumlah pajak  yang terutang, atau
b.      Dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang
c.       SKBN, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian  atas kelebihan pembeyaran pajak, harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pajak dianggap dikabulkan  serta SKBLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 bulan.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya SKBLB. Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga 2% sebulan[14].
L.     Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB
Hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaan Negara. Hasil peenrimaan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi untuk pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut:
1.      Sebesar 20% untuk Pemerintah Pusat dan
2.      Sebesar 80% untuk Daerah. Jumlah 80% tersebut diperinci sebagai berikut:
a.       Sebesar 16% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Propinsi dan
b.      Sebesar 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.[15]




                [1] Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), hal 360
                [2]  Anastasia Diana, Perpajakan Indonesia: Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis, ( Yogyakarta: Andi Offset, 2004). Hal 257-258
                [3] Mardiasmo, Perpajakan.....hal 362
                [4] Anastasia Diana, Perpajakan Indonesia.....Hal 261
                [5] Anastasia Diana, Perpajakan Indonesia.....Hal 259-260
                [6] Ibid, hal 260-261
                [7] Mardiasmo, Perpajakan.....hal 365
                [8] Anastasia Diana, Perpajakan Indonesia.....Hal 263-264
                [9] Ibid, hal 264
                [10] Mardiasmo, Perpajakan.....hal 366-367
                [11] Ibid, hal 367-368
                [12] Anastasia Diana, Perpajakan Indonesia.....Hal 267-268
                [13] Ibid, hal 268
                [14] Mardiasmo, Perpajakan.....hal 369-370
                [15] Perpajakan Indonesia.....Hal  269

Tidak ada komentar:

Posting Komentar