A.
Pengertian-pengertian
Dalam pembahasan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan,
akan dijumpai beberapa pengertia-pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian
tersebut antara lain adalah:
1.
Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB
selanjutnya disebut pajak.
2.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.
Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta
bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
lainnya.[1]
B.
Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah
perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
1.
Pemindahan hak yang disebabkan oleh:
a.
Jual beli
b.
Tukar-menukar
c.
Hibah
d.
Hibah wasiat
e.
Waris
f.
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g.
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h.
Penunjukan pembeli dalam lelang
i.
Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap
j.
Penggabungan usaha
k.
Peleburan usaha
l.
Pemekaran usaha
m.
Hadiah
2.
Pemberi hak baru yang meliputi:
a.
Kelanjutan
pelepasan hak atau
b.
Di luar pelepasan hak
Hak atas tanah dapat berupa:
1.
Hak milik
2.
Hak guna usaha
3.
Hak guna bangunan
4.
Hak pakai
5.
Hak milik atas satuan rumah susun, atau
6.
Hak pengelolaan[2]
C.
Dasar Hukum BPHTB
Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah :
1.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan. Undang-undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama
Staatsblad 1924 Nomor 291.
2.
Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan
BPHTB karena waris dan hibah
3.
Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan
BPHTB karena pembeerian Hak Pengelolaan
4.
Pertauran Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang penentuan
Besarnya NPOPTKP BPHTB
D.
|
Tarif Pajak
Contoh:
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp
70.000.000,00. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
berlaku di Kabupaten /Kota tersebut Rp 60.000.000,00.
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp
70.000.000,00
Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp
60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp
10.000.000,00
BPHTB yang terutang = Rp 10.000.000,00 x 5 % = Rp 500.000,00[3]
E.
Tarif Pajak
(Pasal 5 UU No. 21 tahun 1997 jo. UU No. 20 tahun 2000)
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5%[4].
F.
Nilai
Perolehan Objek Pajak
Dasar
pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai perolehan objek pajak
tersebut terdiri drai harga transaksi dan nilai pasar. Harga transaksi adalah
harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak yang berssangkutan. Nilai
pasar adalah harga rata-rata
dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah atau
bangunan.
Apabila nilai perolehan objek pajak tidak diketahui atau
lebih rendah darpada nilai jual objek pajak yang digunakan dalam pengenaan
pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak
yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan[5].
Contoh:
Wajib pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengna nilai
perolehan objek pajak (harga transaksi) Rp 30.000.000,00. Nilai jual objek
pajak bumi dan bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan
bangunan adalah sebesar Rp 35.000.000,00, maka yang dipakai sebagai dasar
pengenaan Bea perolehan atas tanah dan bangunan adalah Rp 35.000.000,00 dan
bukan Rp 30.000.000,00.
Apabila nilai jual objek pajak bumi dan bangunan tersebut
belum ditetapkan, maka besarnya nil;ai jual objek pajak bumi dan bangunan
ditetapkan oleh Menteri.
Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan
secara regional (untuk masing-masing kabupaten atau kota) paling banyak Rp
60.000.000,00, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi
hibah wasiat, termasuk suami/isteri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00. NPOPTKPdapat
diubah dengan mempertimbangkan perkembangn perekonomian regional.
Contoh:
1.
Pada tanggal 1 Februari rahun 2001, Wajib pajakl “A”
membeli tanah yang terletak di kabupaten “AA” dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp 50.000.000,00. Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak, selain
karena waris atau hibah waasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi
hibah wasiat, termasuk suami/isteri, untuk kabupaten “AA” ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00. Mengingat NPOP
lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.
Pada tanggal 1 Februari 2001, wajib pajak “B” mmebeli
tanah dan bangunanyang terletak di kabupaten “AA” dengan NPOP Rp
100.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak, selain karena waris aatu hibah
wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubunganm keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atausatu derajat ke bawah
dengan pemebri hibah wasiat, termasuk suami/isteri, untuk Kabupaten “AA”
ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak (NPOPKP) adalah Rp 100.000.000,00 dikurangi Rp 60.000.000,00 sama dengan
Rp 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan.
3.
Pada tanggal 2 Maret 2001, wajib pajak “C” mendaftarkan
warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di kopta “BB” dengan NPOP Rp
400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk kota “BB”
ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp 400.000.000,00
dikurangi Rp 300.000.000,00 sama dengan Rp 100.000.000,00, maka perolehan hak
tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4.
Pada tanggal 2 februari 2001, wajib pajak orang pribadi
‘D” mendaftarkan hibah wasiat dsari orang tua kandung berupa sebidang tanah
yang terletak di kota “BB” dengan NPOP Rp 250.000.000,00. NPOPTKP untuk
perolehan hak karena hibah wasiat yang diterimaa orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, untuk
kota BB ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil
dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan[6].
G.
Surat
Keterangan Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya
jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administrasi, dan jumlah yang harus dibayar. SKBKB
diterbitkan apabila berdasarkan hasill
pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang
dibayar. SKBKB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5
tahun sesudah saat terutangnya pajak.
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat
terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB[7].
Contoh:
Wajib
pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 2001.
Nilai Perolehan Objek
Pajak
|
Rp
110.000.000,00
|
Nilai perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak
|
Rp 30.000.000,00
|
Nilai Perolehan Objek
Pajak Kena Pajak
|
Rp 80.000.000,00
|
Pajak yang terutang =
5% X Rp 80.000.000,00 =
|
Rp 4.000.000,00
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang
dilakukan pada tanggal 30 Desember 2001, ternyata ditemukan data yang belum
lengkap yang menunjukan bahwa nilai Perolehan Objek Pajak sebenarnya adalah Rp
160.000.000,00 maka pajak yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut :
Nilai
perolehan objek pajak Rp
160.000.000,00
Niali perolehan objek
pajak tidak kena pajak Rp 30.000.000,00
Nilai
perolehan objek pajak kena pajak Rp
130.000.000,00
Pajak
yang seharusnya terutang= 5% x Rp 130.000.000,00= Rp 6.500.000,00
Pajak yang telah
dibayar Rp
4.000.000,00
Pajak
yang kurang dibayar Rp
2.500.000,00
Sanksi
administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2001 sampai dengan 30 Desember 2001
=
10 x 2% x Rp 2.500.000,00 = Rp 500.000,00
Jadi,
jumlah pajak yang harus dibayar sebesar
Rp
2.500.000,00 + Rp 500.000,00 = Rp 3.000.000,00[8].
H.
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya
pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data beru dan
atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak
yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar[9].
Contoh:
Pada tahun 2010, dari hasil pemeriksaan atau keterangan
lain diperoleh data baru bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak ternyata adalah Rp
360.000.000,00. Nilai perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungna keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk
Kabupaten Sukamaju ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00, maka BPHTB yang terutang
adalah sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 360.000.000,00
Nilai
perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp
300.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang = 300.000.000 x 5% = Rp
15.000.000,00
BPHTB
yang telah dibayar Rp 12.500.000,00
BPHTB yang kurang dibayar Rp 2.500.000,00
Sanksi administrasi kenaikan = 100% x Rp 2.500.000,00 =
Rp 2.500.000,00
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKBT =
Rp 2.500.000,00 = Rp 2.500.000,00 = Rp 5.000.000,00[10]
I.
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tamabahan (STB)
STB adalah surat untuk melakuakn tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STB diterbitkan apabila:
1.
Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
2.
Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (SSB) terdapat kekurangan pembayarn pajak sebagai akibat salah tulis dan atau
salah hitung
3.
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bungan
dan atau denda
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar
dalam STB sebagaimana dimaksud dalam poin 2a dan 2b ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu palaing lama 24
bulan sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin 2c tidak ditambah
sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi. STB mempunyai kekuatan yang
sama dengan Surat Ketetapan Pajak,
sehingga penagihannya dapat dilanjutkan
dengan surat paksa[11].
J.
Keberatan dan Banding
1.
Keberatan
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar,
b.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan,
c.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Lebih Bayar,
d.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Nihil.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan pangihan pajak.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak
dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan harus diajukan dalam jangka
waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal
diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Nihil oleh wajib pajak, kecuali wajib pajak dapat menunjukan
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apanila jangka
waktu 12 bulan tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi
keputusan, maka keberatan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan[12].
2.
Banding
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
kepada Badan penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai
keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan
yang jelas dalam jangka waktu paling
lama 3 bulan sejak keputusan keberatan diterma dan dilampiri salinan dari surat
keputusan tersebut. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Apabila pengajuan keberatan atau permohonanbanding dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan[13].
K.
Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas
kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, antara lain dalam
hal:
1.
Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya
terutang
2.
Pajak yang teruitang sudah dibayar oleh Wajib Pajak
sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
tersebut batal.
setelah melakukan pemeriksaan (baik pemeriksaan kantor
maupun pemeriksaan lapangan), Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan:
1.
SKBLB, apabila:
a.
Pajak yang dibayar ternyata lebih besar dari pada jumlah
pajak yang terutang, atau
b.
Dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang
c.
SKBN, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak
diterimanya permohonan pengembalian atas
kelebihan pembeyaran pajak, harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu
tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan,
permohonan pengembalian kelebihan pajak dianggap dikabulkan serta SKBLB harus diterbitkan dalam jangka
waktu paling lama 1 bulan.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterbitkannya SKBLB. Apabila
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2
bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga 2% sebulan[14].
L.
Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB
Hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan merupakan penerimaan Negara. Hasil peenrimaan Bea perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan dibagi untuk pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan
sebagai berikut:
1.
Sebesar 20% untuk Pemerintah Pusat dan
2.
Sebesar 80% untuk Daerah. Jumlah 80% tersebut diperinci
sebagai berikut:
a.
Sebesar 16% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan melalui rekening Kas Daerah Propinsi dan
b.
Sebesar 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan
disalurkan melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.[15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar