Kamis, 19 Januari 2017

Reasuransi dan Retakaful

A.    Pengertian Reasuransi dan Ratakaful
Menurut KUHD Pasal 271, reasuransi adalah asuransi dari asuransi/asuransinya asuransi.[1] Pengertian reasuransi sebagaimana tersimpul dalam KUHD pasal 271 tersebut tampak sejiwa dengan yang dikemukakan oleh pakar reasuransi Robert I Mehr dan E. Cammack dalam bukunya Principle of insurance yang mengatakan “Reinsurance is the insurance of insurance (reasuransi adalah asuransi dari asuransi atau asuransinya asuransi)”.
Suatu transaksi reasuransi adalah suatu persetujuan yang di lakukakan antara dua pihak, yang masing-masing disebut pemberi sesi (ceding company) dan panggung ulang (reasuradur), dengan jalan pemberi sesi menyetujui menyerah dan penanggung ulang menyetujui menerima suatu resiko yang telah ditentukan dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian.
Sedangkan, reasuransi syariah (retakaful) adalah suatu proses saling menanggung antara pemberi sesi dengan penanggung ulang , dimana ada proses suka sama suka (saling menyepakati) risiko dan persyaratannya yang ditetapkan dalam akad. Dalam operasionalnya, menggunakan prinsip-prinsip syariah, terbebas dari praktek maghrib, maisir, dan gharar.[2]
B.     Tujuan Reasuransi (Retakaful)
Ditinjau dari aspek teknis, tujuan reasuransi dan retakaful adalah sama, yakni untuk mengurangi atau memperkecil beban risiko yang diterimanya dengan mengalihkan seluruh atau sebagian resiko itu kepada pihak penanggung lain. Dengan pertanggungan ulang ini, penanggung pertama dapat mengurangi atau memperkecil risiko-risiko yang diterimanya dipandang dari segi kemungkinan kerugian materiil. Jika pada aspek teknis, tujuan reasuransi lebih mendasarkan pada cara atau alat pengalihan beban resiko dan/atau pembagian risiko (distribution of risk) atau penyebaran risiko (spreading of risk), maka pada aspek hukum manfaat reasuransi lebih menitikberatkan pada perjanjian pengalihan seluruh atau sebagian risiko dari pihak perusahaan asuransi atau penanggung pertama kepada penanggung ulang.
Berangkat dari pengertian dan definisi reasuransi di atas, AJ. Marianto menjelaskan secara tepat fungsi-fungsi atau tujuan dari reasuransi sebagai berikut:
1.      Memberi jaminan atau perlindungan kepada penanggung dari kerugian-kerugian underwriting (underwriting loss) yang dapat sewaktu-waktu membahayakan likuiditas, solvabilitas, dan kelestarian kegiatan usaha mereka. Dengan kata lain, reasuransi dapat mengubah atau mengganti ketidakpastian menjadi “kepastian”.
2.      Menaikan kapasitas akseptasi perusahaan atas resiko-resiko yang melampaui batas kemampuannya karena kelebihan tanggung-gugat yang tidak bisa mereka tampung sendiri akan dijamin oleh penanggung ulang yang telah bersedia menampung.
3.      Sebagai alat penyebaran resiko, baik di pasaran reasuransi dalam negeri maupun di pasaran  luar negeri.
4.      Bila kerja sama reasuransi atas sebagian resiko dilakukan antar sesama perusahaan asuransi, akan terdapat dua fungsi di dalamnya. Yaitu, sebagai penyebaran resiko dan sebagai sarana pertukaran  bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan premi yang dapat ditahan karena di samping adanya pengeluaran terdapat pula pemasukan premi.
5.      Meningkatkan atau mendukung kestabilan hasil underwriting dan keadaan keuangan perusahaan asuransi, termasuk menjaga stabilitas pendapatannya
6.      Meningkatkan dan memperbesar keleluasaan  dalam melakukan pemasaran berbagai produk asuransi, baik yang konvensional maupun yang baru dengan segala macam tingkat besar kecilnya resiko.[3]
C.    Metode Penempatan dan Bentuk-bentuk Reasuransi
 














menurut literature dalam praktik asuransi dan atau reasuransi, terdapat tiga cara dalam melakukan kerjasama asuransi antara pihak penanggung pertama (direct insurers) dan pihak penanggung ulang (reinsurers). Yaitu metode reasuransi secara fakultatif, metode reasuransi secara kontrak (treaty), dan metode reasuransi pool dan fakultatif obligatory.[4]
1.      Metode Reasuransi Secara Fakulatif
Metode reasuransi fakulatif merupakan transaksi pertanggungan ulang antara pihak penanggung  pertama dan para penanggung ulang secara bebas. Para pihak penanggung ulang tidak terikat menerima penawaran pertanggungan ulang atau para penanggung ulang dapat menolak/ menerima penawaran pertanggungan ulang berdasarkan akseptasi yang telah mereka tetapkan.
2.      Metode Reasuransi Secara Kontrak (Treaty)
Metode reasuransi secara kontrak adalah perjanjian antara pihak penanggung pertama dan para penanggung lain/pihak penanggung ulang profesional. Dalam perjanjian tersebut pihak ceding company setuju memberikan bagian dan para penanggung ulang setuju dan wajib menerima bagian dari tanggung jawab atas asuransi yang telah ditutup oleh penanggung pertama. [5]
3.      Metode Reasuransi Pool dan Facultative Obligatory
a.       Metode Reasuransi Pool
Maksud dan tujuan membentuk kerjasama secara pool lazimnya didasarkan atas berbagai sasaran yang dituju. Sasaran dan tujuan pembentukan kerjasama sistem pool yang paling penting adalah untuk mengatasi berbagai macam persoalan  melalui kerjasama yang saling menguntungkan  dan saling membantu antarsesama anggota pool dalam mewujudkan penyebaran risiko, di antaranya dengan melakukan pertukaran bisnis.
b.      Facultative
Melalui cara ini, pihak penanggung pertama tidak perlu lagi melakukan penawaran reasuransi satu per satu karena secara otomatis telah memperoleh fasilitas jaminan  yang cukup memadai  serta tidak perlu cemas, seperti risiko penolakan  apabila mereka melakukan penawaran  penempatan  pertanggungan ulang secara fakultatif biasa. Dengan cara ini, penanggung petama juga dapat bekerja lebih efisien  karena dapat menghemat banyak biaya, waktu, dan tenaga  dibandingkan  harus melakukan  penawaran satu per satu.[6]
D.    Proportional Treaties dan Non Proportional Treaties
1.      Kontrak Proporsional (Proportional Treaties)
Pengertian kontrak reasuransi proporsional adalah perjanjian reasuransi atau pertanggungan ulang yang mengikatkan dua atau lebih pihak, yaitu pemberi sesi wajib yang menerima dan pihak penanggung ulang wajib bersedia menerima bagian sesi atau premi dari pemberi sesi menurut perbandingan yang seimbang antara jumlah uang pertanggungan ulang dan jumlah seluruh  uang pertanggungan dikali jumlah seluruh premi sebagaimana disebut di dalam  polis.
Dalam hal terjadi  klaim, bagian klaim yang menjadi tanggungan  para penanggung  ulang juga akan dihitung menurut perbandingan  yang seimbang antara tanggung jawab penanggung ulang dan jumlah tanggung jawab  seluruhnya dikali jumlah kerugian  yang terjadi.
Sesuai praktik yang terjadi hingga saat ini, terdapat dua jenis atau tipe kontrak pertanggungan ulang.
a.       Kontrak bagian tetap (Quota Share Treaty)
Yang dimaksud dengan kontrak bagian tetap adalah suatu perjanjian yang menyatakan bahwa pihak  penanggung pertama (pemberi sesi) mengikatkan diri wajib memberi dan para penanggung ulang terkait wajib menerima suatu bagian  tetap dari setiap risiko yang dijamin oleh penanggung pertama berdasarkan polis pertanggungan yang telah diterbitkan.
b.      Kontrak Surplus (Surplus Treaty atau Excess of Lines)
Pengertian kontrak reasuransi surplus adalah suatu perjanjian  pertanggungan ulang yang menyatakan bahwa pihak pemberi sesi terikat wajib memberikan sesi dan para penanggung  ulang wajib menerima surplus liability yang melampaui retensi sendiri pemberi  sesi sampai dengan batas tertinggi yang disepakati antara pemberi sesi (ceding company) dan penanggung ulang.[7]
2.      Konttrak Nonproporsional (Non Proportional Treaties)
Pengertian kontrak reasuransi nonproporsional adalah suatu perjanjian reasuransi yang menetapkan bahwa para penanggung  ulang dengan menerima sejumlah premi yang telah disepakati bersama bersedia membayar kepada penanggung pertama  semua kerugian  yang melampaui batas limit retensi (underlying net retention) sampai pada batas jumlah atau presentase tertentu yang terjadi karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan bersama.
Menurut teori  maupun praktik, dalam kategori kontrak reasuransi nonproporsional, terdapat tiga jenis atau tipe kontrak reasuransi sebagaimana tersebut di bawah ini.
1.      Excess of loss, yang bila ditinjau dari sisi proteksi dan cara kerjanya terdapat dua bentuk kontrak, yaitu:
a.       Working excess of loss, dan
b.      Catastropichal excess of loss
2.      Stop of loss, yang juga disebut stop of loss ratio
3.      Aggregate axcess of loss[8]
E.     Perbedaan Reasuransi dan Retakaful
Dua hal yang membedakan antara reasuransi syariah dan reasuransi konvensional ada dua. (1) Mekanisme operasional pada reasuransi syariah harus menggunakan sistem yang dibenarkan secara syariah, dimana harus lepas dari praktik gharar, maisir, dan riba. (2) Dalam transaksi kerja samanya harus menggunakan skim bagi hasil (mudharabah), sebagaimana umumnya dalam akad tijarah dalam asuransi syariah, atau akad yang lainnya yang dibenarkan secara syar’i.[9]
 







F.     Takaful dan Retakaful Dunia
Saat ini asuransi syariah di dunia yang operasionalnya benar-benar menggunakan sistem syariah sudah ada sekitar 65 perusahaan,tidak yang termasuk berbentuk cabang saperti umumnya di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Takafol USA (USA), Islamic Takafol &Retakafol Company (Jeddah), The Nasional Reinsurance Company (Sudan), Syarikat Takaful Singapore (Singapore), Takafol Islamic Company (Riyadh), Islamic Insurance & Re-Insurance Co. (Australia), Islamic Takafol & Retakaful Bahamas (Bahamas), Qatar Islamic Insurance (Qatar), Takaful Ab Birhad (Brunei), Syarikat Takaful Malaysia (Malaysia), Syarikat Takaful Indonesia (Indonesia), dan sebagainya.[10]
G.    Asean Retakaful Internasional
Saat ini di tingkat ASIA telah dibentuk Asia Takaful Group Conference (ATG-Conference), yang secara rutin setiap tahun mengadakan conference secara bergilir di negara anggota. Salah satu produk dari ATG Conference adalah dibentuknya reasuransi syariah di Labuan, yaitu ASEAN Retakaful Internasional Ltd (ARIL) dan belakangan namanya dirubah menjadi ASIA Retakaful International Ltd. (ARIL), yang anggota-anggotanya sebagai pemegang saham adalah sebagai berikut:
- Syarikat Takaful Malaysia (Malaysia)
- PT. Asuransi Takaful Umum (Indonesia)
- PT. AsuransibTakaful Keluarga (Indonesia)
- Takaful Nasional (Malaysia)
- Takaful IBB Berhad (Brunei)
- Insurance Islam TAIB (Brunei)
- Syarikat Takaful Singapore
- Amana Takaful Limited (Srilanka)
- Tripakarta Cabang Syariah (Indonesia)[11]
 


















H.    Konsep Sharing of Risk dalam Retakaful
Salah satu diferensiasi (perbedaan) dari reasuransi berdasarkan prinsip syariah adalah adanya mekanisme sharing of risk antara satu peserta dengan peserta lain. Dalam hal ini, berbeda dengan proses  transfer of risk sebagaimana yang terjadi pada asuransi konvensional. Apabila sebuah perusahaan asuransi syariah menyepakati perjanjian  reasuransi dengan perusahaan reasuransi, maka pada saat itu terjadi saling menanggung antara perusahaan  asuransi syariah dengan perusahaan reasuransi syariah, demikian selanjutnya dengan retrosesi, atau perjanjian reasuransi dengan ceding company. Perbedaan ini sebagai implementasi dari akad tabarru’ yang melandasi operasional asuransi dengan prinsip-prinsip syariah.[12]
Secara sederhana proses saling menanggung ini dapat dilihat pada gambar berikut:
 












I.       Reasuransi Syariah (Existing Condition)
Dalam tataran ideal, sebuah perusahaan asuransi syariah harus mereasuransikan risikonya ke perusahaan reasuransi syariah. Apalagi dengan  adanya fatwa MUI tentang hal tersebut, bahwa wajib bagi setiap perusahaan  asuransi untuk ke perusahaan reasuransi syariah.
Masih adanya kendala regulasi yang mengharuskan perusahaan reasuransi di Indonesia, memprioritaskan reasuransi dalam negeri dengan rumus 1 plus 5. Artinya, setiap perusahaan asuransi harus menggunakan satu reasuransi dalam negeri, lima perusahaan asuransi, dan selebihnya baru reasuransi Internasional. Existing condition yang ada, perusahaan asuransi syariah terpaksa melakukan reasuransi kepaad reasuransi konvensional dan sebagian kecil ke ARIL (reasuransi syariah) dan perusahaan syariah lainnya yang ada di Indonesia. Berikut ini existing condition pada reasuransi syariah di Indonesia.[13]
 









J.      Fatwa DSN MUI tentang Reasuransi Syariah
Menyusun fatwa DSN MUI tentang reasuransi syariah, maka ada beberapa faktor penyebab sehingga belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
1.      Jumlah asuransi/reasuransi syariah masih sangat sedikit
2.      Kapasitas limit dan ekseptasi yang terbatas
3.      Tenaga ahli masih terbatas
4.      Sinergi takaful dunia yang belum optimal
Adapun pembentukan reasuransi internasional masih pada tingkat wacana, bagi pelaku reasuransi syariah di berbagai belahan dunia. Hal itu tentu bukan hal yang gampang, di samping faktor permodalan, handicap utang adalah susahnya melakukan sinergi antarpemegang saham.
Sebenarnya ada beberapa perusahaan reasuransi syariah skala internasional selain ARIL (Malaysia) seperti yang sudah disebutkan di atas misalnya Islamic Takaful & Re-Insurance (Bahanas), Islamic Insurance & Reinsurance Co (Bahrain), Islamic Takaful & Retakaful Company (Saudi Arabia), dan sebagainya. Kendala saat ini adalah komunikasi, kemudian seberapa besar kapasitas limitnya, apakah reasuransi  tersebut masuk dalam rating reasuransi internasional, dan kendala undang-undang  yang memproteksi  harus ke reasuransi dalam negeri dulu sebelum ke luar negeri. Berikut gambaran reasuransi syariah di Indonesia, antara harapan dan kenyataan.[14]
 













[1] Abdullah Amrin, Asuransi Syariah, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006) hal 123
[2] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional¸(Jakarta: Gema Insani, 2004) hal 263-264
[3] Ibid, 264-265
[4] Ibid,  hal  266
[5] Abdullah Amrin, Asuransi Syariah...... hal 123-124
[6] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah ......hal 263-264
[7] Ibid, hal 273-274
[8] Ibid, hal 274
[9] Ibid,  hal 276
[10] Ibid, hal 277
[11] Ibid, hal 277-278
[12] Ibid, hal 279
[13] Ibid, hal 279-280
[14] Ibid, hal 280-281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar