A. Pengertian Reasuransi dan Ratakaful
Menurut
KUHD Pasal 271, reasuransi adalah asuransi
dari asuransi/asuransinya asuransi.[1] Pengertian reasuransi sebagaimana tersimpul dalam KUHD
pasal 271 tersebut tampak sejiwa dengan yang dikemukakan oleh pakar reasuransi
Robert I Mehr dan E. Cammack dalam bukunya Principle of insurance yang
mengatakan “Reinsurance is the insurance of insurance (reasuransi adalah
asuransi dari asuransi atau asuransinya asuransi)”.
Suatu transaksi reasuransi adalah suatu persetujuan yang
di lakukakan antara dua pihak, yang masing-masing disebut pemberi sesi (ceding
company) dan panggung ulang (reasuradur), dengan jalan pemberi sesi menyetujui
menyerah dan penanggung ulang menyetujui menerima suatu resiko yang telah
ditentukan dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian.
Sedangkan, reasuransi syariah (retakaful) adalah suatu
proses saling menanggung antara pemberi sesi dengan penanggung ulang , dimana
ada proses suka sama suka (saling menyepakati) risiko dan persyaratannya yang
ditetapkan dalam akad. Dalam operasionalnya, menggunakan prinsip-prinsip
syariah, terbebas dari praktek maghrib, maisir, dan gharar.[2]
B. Tujuan Reasuransi (Retakaful)
Ditinjau
dari aspek teknis, tujuan reasuransi dan retakaful adalah sama, yakni untuk
mengurangi atau memperkecil beban risiko yang diterimanya dengan mengalihkan
seluruh atau sebagian resiko itu kepada pihak penanggung lain. Dengan
pertanggungan ulang ini, penanggung pertama dapat mengurangi atau memperkecil
risiko-risiko yang diterimanya dipandang dari segi kemungkinan kerugian
materiil. Jika pada aspek teknis, tujuan reasuransi lebih mendasarkan pada cara
atau alat pengalihan beban resiko dan/atau pembagian risiko (distribution of
risk) atau penyebaran risiko (spreading of risk), maka pada aspek hukum manfaat
reasuransi lebih menitikberatkan pada perjanjian pengalihan seluruh atau
sebagian risiko dari pihak perusahaan asuransi atau penanggung pertama kepada
penanggung ulang.
Berangkat dari pengertian dan definisi reasuransi di
atas, AJ. Marianto menjelaskan secara tepat fungsi-fungsi atau tujuan dari
reasuransi sebagai berikut:
1.
Memberi jaminan atau perlindungan kepada penanggung dari
kerugian-kerugian underwriting (underwriting loss) yang dapat sewaktu-waktu
membahayakan likuiditas, solvabilitas, dan kelestarian kegiatan usaha mereka.
Dengan kata lain, reasuransi dapat mengubah atau mengganti ketidakpastian
menjadi “kepastian”.
2.
Menaikan kapasitas akseptasi perusahaan atas
resiko-resiko yang melampaui batas kemampuannya karena kelebihan tanggung-gugat
yang tidak bisa mereka tampung sendiri akan dijamin oleh penanggung ulang yang
telah bersedia menampung.
3.
Sebagai alat penyebaran resiko, baik di pasaran
reasuransi dalam negeri maupun di pasaran
luar negeri.
4.
Bila kerja sama reasuransi atas sebagian resiko dilakukan
antar sesama perusahaan asuransi, akan terdapat dua fungsi di dalamnya. Yaitu,
sebagai penyebaran resiko dan sebagai sarana pertukaran bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan
premi yang dapat ditahan karena di samping adanya pengeluaran terdapat pula
pemasukan premi.
5.
Meningkatkan atau mendukung kestabilan hasil underwriting
dan keadaan keuangan perusahaan asuransi, termasuk menjaga stabilitas
pendapatannya
6.
Meningkatkan dan memperbesar keleluasaan dalam melakukan pemasaran berbagai produk
asuransi, baik yang konvensional maupun yang baru dengan segala macam tingkat
besar kecilnya resiko.[3]
C. Metode Penempatan dan Bentuk-bentuk Reasuransi
menurut literature dalam praktik
asuransi dan atau reasuransi, terdapat tiga cara dalam melakukan kerjasama
asuransi antara pihak penanggung pertama (direct insurers) dan pihak penanggung
ulang (reinsurers). Yaitu metode reasuransi secara fakultatif, metode
reasuransi secara kontrak (treaty), dan metode reasuransi pool dan fakultatif
obligatory.[4]
1. Metode Reasuransi Secara Fakulatif
Metode reasuransi fakulatif merupakan
transaksi pertanggungan ulang antara pihak penanggung pertama dan para penanggung ulang secara
bebas. Para pihak penanggung ulang tidak terikat menerima penawaran
pertanggungan ulang atau para penanggung ulang dapat menolak/ menerima
penawaran pertanggungan ulang berdasarkan akseptasi yang telah mereka tetapkan.
2. Metode Reasuransi Secara Kontrak
(Treaty)
Metode reasuransi secara kontrak adalah
perjanjian antara pihak penanggung pertama dan para penanggung lain/pihak
penanggung ulang profesional. Dalam perjanjian tersebut pihak ceding company
setuju memberikan bagian dan para penanggung ulang setuju dan wajib menerima
bagian dari tanggung jawab atas asuransi yang telah ditutup oleh penanggung
pertama. [5]
3. Metode Reasuransi Pool dan Facultative Obligatory
a. Metode Reasuransi Pool
Maksud dan tujuan membentuk
kerjasama secara pool lazimnya didasarkan atas berbagai sasaran yang dituju.
Sasaran dan tujuan pembentukan kerjasama sistem pool yang paling penting adalah
untuk mengatasi berbagai macam persoalan
melalui kerjasama yang saling menguntungkan dan saling membantu antarsesama anggota pool
dalam mewujudkan penyebaran risiko, di antaranya dengan melakukan pertukaran
bisnis.
b. Facultative
Melalui cara ini, pihak penanggung
pertama tidak perlu lagi melakukan penawaran reasuransi satu per satu karena
secara otomatis telah memperoleh fasilitas jaminan yang cukup memadai serta tidak perlu cemas, seperti risiko
penolakan apabila mereka melakukan
penawaran penempatan pertanggungan ulang secara fakultatif biasa.
Dengan cara ini, penanggung petama juga dapat bekerja lebih efisien karena dapat menghemat banyak biaya, waktu,
dan tenaga dibandingkan harus melakukan penawaran satu per satu.[6]
D. Proportional Treaties dan Non Proportional Treaties
1. Kontrak Proporsional (Proportional
Treaties)
Pengertian kontrak reasuransi
proporsional adalah perjanjian reasuransi atau pertanggungan ulang yang
mengikatkan dua atau lebih pihak, yaitu pemberi sesi wajib yang menerima dan
pihak penanggung ulang wajib bersedia menerima bagian sesi atau premi dari
pemberi sesi menurut perbandingan yang seimbang antara jumlah uang
pertanggungan ulang dan jumlah seluruh
uang pertanggungan dikali jumlah seluruh premi sebagaimana disebut di
dalam polis.
Dalam hal terjadi klaim, bagian klaim yang menjadi
tanggungan para penanggung ulang juga akan dihitung menurut perbandingan yang seimbang antara tanggung jawab
penanggung ulang dan jumlah tanggung jawab
seluruhnya dikali jumlah kerugian
yang terjadi.
Sesuai praktik yang terjadi hingga saat
ini, terdapat dua jenis atau tipe kontrak pertanggungan ulang.
a. Kontrak bagian tetap (Quota Share
Treaty)
Yang dimaksud dengan kontrak bagian
tetap adalah suatu perjanjian yang menyatakan bahwa pihak penanggung pertama (pemberi sesi) mengikatkan
diri wajib memberi dan para penanggung ulang terkait wajib menerima suatu
bagian tetap dari setiap risiko yang
dijamin oleh penanggung pertama berdasarkan polis pertanggungan yang telah
diterbitkan.
b. Kontrak Surplus (Surplus Treaty atau
Excess of Lines)
Pengertian kontrak reasuransi
surplus adalah suatu perjanjian
pertanggungan ulang yang menyatakan bahwa pihak pemberi sesi terikat
wajib memberikan sesi dan para penanggung
ulang wajib menerima surplus liability yang melampaui retensi sendiri
pemberi sesi sampai dengan batas
tertinggi yang disepakati antara pemberi sesi (ceding company) dan penanggung
ulang.[7]
2. Konttrak Nonproporsional (Non
Proportional Treaties)
Pengertian kontrak reasuransi nonproporsional
adalah suatu perjanjian reasuransi yang menetapkan bahwa para penanggung ulang dengan menerima sejumlah premi yang
telah disepakati bersama bersedia membayar kepada penanggung pertama semua kerugian yang melampaui batas limit retensi (underlying
net retention) sampai pada batas jumlah atau presentase tertentu yang terjadi
karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan bersama.
Menurut teori maupun praktik, dalam kategori kontrak
reasuransi nonproporsional, terdapat tiga jenis atau tipe kontrak reasuransi
sebagaimana tersebut di bawah ini.
1. Excess of loss, yang bila ditinjau dari
sisi proteksi dan cara kerjanya terdapat dua bentuk kontrak, yaitu:
a. Working excess of loss, dan
b. Catastropichal excess of loss
2. Stop of loss, yang juga disebut stop of
loss ratio
3. Aggregate axcess of loss[8]
E. Perbedaan Reasuransi dan Retakaful
Dua hal yang membedakan antara
reasuransi syariah dan reasuransi konvensional ada dua. (1) Mekanisme
operasional pada reasuransi syariah harus menggunakan sistem yang dibenarkan
secara syariah, dimana harus lepas dari praktik gharar, maisir, dan riba. (2)
Dalam transaksi kerja samanya harus menggunakan skim bagi hasil (mudharabah),
sebagaimana umumnya dalam akad tijarah dalam asuransi syariah, atau akad yang
lainnya yang dibenarkan secara syar’i.[9]
F. Takaful dan Retakaful Dunia
Saat ini asuransi syariah di dunia
yang operasionalnya benar-benar menggunakan sistem syariah sudah ada sekitar 65
perusahaan,tidak yang termasuk berbentuk cabang saperti umumnya di Indonesia.
Beberapa di antaranya adalah Takafol USA (USA), Islamic Takafol &Retakafol
Company (Jeddah), The Nasional Reinsurance Company (Sudan), Syarikat Takaful
Singapore (Singapore), Takafol Islamic Company (Riyadh), Islamic Insurance
& Re-Insurance Co. (Australia), Islamic Takafol & Retakaful Bahamas
(Bahamas), Qatar Islamic Insurance (Qatar), Takaful Ab Birhad (Brunei),
Syarikat Takaful Malaysia (Malaysia), Syarikat Takaful Indonesia (Indonesia),
dan sebagainya.[10]
G. Asean Retakaful Internasional
Saat ini di tingkat ASIA telah
dibentuk Asia Takaful Group Conference (ATG-Conference), yang secara rutin
setiap tahun mengadakan conference secara bergilir di negara anggota. Salah
satu produk dari ATG Conference adalah dibentuknya reasuransi syariah di
Labuan, yaitu ASEAN Retakaful Internasional Ltd (ARIL) dan belakangan namanya
dirubah menjadi ASIA Retakaful International Ltd. (ARIL), yang
anggota-anggotanya sebagai pemegang saham adalah sebagai berikut:
-
Syarikat Takaful Malaysia (Malaysia)
- PT.
Asuransi Takaful Umum (Indonesia)
- PT.
AsuransibTakaful Keluarga (Indonesia)
- Takaful
Nasional (Malaysia)
- Takaful
IBB Berhad (Brunei)
-
Insurance Islam TAIB (Brunei)
-
Syarikat Takaful Singapore
- Amana
Takaful Limited (Srilanka)
-
Tripakarta Cabang Syariah (Indonesia)[11]
H. Konsep Sharing of Risk dalam Retakaful
Salah satu diferensiasi (perbedaan) dari
reasuransi berdasarkan prinsip syariah adalah adanya mekanisme sharing of risk
antara satu peserta dengan peserta lain. Dalam hal ini, berbeda dengan
proses transfer of risk sebagaimana yang
terjadi pada asuransi konvensional. Apabila sebuah perusahaan asuransi syariah
menyepakati perjanjian reasuransi dengan
perusahaan reasuransi, maka pada saat itu terjadi saling menanggung antara
perusahaan asuransi syariah dengan
perusahaan reasuransi syariah, demikian selanjutnya dengan retrosesi, atau
perjanjian reasuransi dengan ceding company. Perbedaan ini sebagai implementasi
dari akad tabarru’ yang melandasi operasional asuransi dengan prinsip-prinsip
syariah.[12]
Secara sederhana proses saling
menanggung ini dapat dilihat pada gambar berikut:
I. Reasuransi Syariah (Existing Condition)
Dalam tataran ideal, sebuah perusahaan asuransi syariah
harus mereasuransikan risikonya ke perusahaan reasuransi syariah. Apalagi
dengan adanya fatwa MUI tentang hal
tersebut, bahwa wajib bagi setiap perusahaan
asuransi untuk ke perusahaan reasuransi syariah.
Masih adanya kendala regulasi yang mengharuskan
perusahaan reasuransi di Indonesia, memprioritaskan reasuransi dalam negeri
dengan rumus 1 plus 5. Artinya, setiap perusahaan asuransi harus menggunakan
satu reasuransi dalam negeri, lima perusahaan asuransi, dan selebihnya baru
reasuransi Internasional. Existing condition yang ada, perusahaan asuransi
syariah terpaksa melakukan reasuransi kepaad reasuransi konvensional dan
sebagian kecil ke ARIL (reasuransi syariah) dan perusahaan syariah lainnya yang
ada di Indonesia. Berikut ini existing condition pada reasuransi syariah di
Indonesia.[13]
J. Fatwa DSN MUI tentang Reasuransi Syariah
Menyusun fatwa DSN MUI tentang
reasuransi syariah, maka ada beberapa faktor penyebab sehingga belum sepenuhnya
dapat dilaksanakan.
1. Jumlah asuransi/reasuransi syariah masih
sangat sedikit
2. Kapasitas limit dan ekseptasi yang
terbatas
3. Tenaga ahli masih terbatas
4. Sinergi takaful dunia yang belum optimal
Adapun pembentukan reasuransi
internasional masih pada tingkat wacana, bagi pelaku reasuransi syariah di
berbagai belahan dunia. Hal itu tentu bukan hal yang gampang, di samping faktor
permodalan, handicap utang adalah susahnya melakukan sinergi antarpemegang
saham.
Sebenarnya ada beberapa perusahaan
reasuransi syariah skala internasional selain ARIL (Malaysia) seperti yang
sudah disebutkan di atas misalnya Islamic Takaful & Re-Insurance (Bahanas),
Islamic Insurance & Reinsurance Co (Bahrain), Islamic Takaful &
Retakaful Company (Saudi Arabia), dan sebagainya. Kendala saat ini adalah
komunikasi, kemudian seberapa besar kapasitas limitnya, apakah reasuransi tersebut masuk dalam rating reasuransi
internasional, dan kendala undang-undang
yang memproteksi harus ke
reasuransi dalam negeri dulu sebelum ke luar negeri. Berikut gambaran
reasuransi syariah di Indonesia, antara harapan dan kenyataan.[14]
[1] Abdullah
Amrin, Asuransi Syariah, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006) hal
123
[2] Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional¸(Jakarta: Gema Insani, 2004) hal 263-264
[3] Ibid, 264-265
[4] Ibid, hal 266
[5] Abdullah
Amrin, Asuransi Syariah...... hal 123-124
[6] Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah ......hal 263-264
[7] Ibid, hal
273-274
[8] Ibid, hal
274
[9] Ibid, hal 276
[10] Ibid, hal
277
[11] Ibid, hal
277-278
[12] Ibid, hal
279
[13] Ibid, hal
279-280
[14] Ibid, hal
280-281
Tidak ada komentar:
Posting Komentar