Kamis, 19 Januari 2017

Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad saw. dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah saw. mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad abad yang lampau. Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.      
Dilihat dari waktu dimana para pemikir-pemikir ekonomi islam hidup, dapat dibagi menjadi dua jenis pemikir, yaitu : para pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut pemikir ekonomi islam klasik dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 yang disebut sebagai pemikir ekonomi islam kontemporer. Adapun sedikit pembahasan disini penulis mencoba menapak tilasi salah seorang pemikir ekonomi islam klasik, yaitu Abu Ubaid.
B.Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Abu Ubaid ?
2.      Bagaimana dengan latar belakang kehidupan dan corak pemikirannya ?
3.      Apa saja yang dibahas dalam kitab al-amwal ?
4.      Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ubaid ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang  riwayat hidup Abu Ubaid
2.      Untuk mengetahui latar belakang dan corak pemikiran Abu Ubaid
3.      Untuk memahami tentang kitab al-amwal
4.      Untuk memahami tentang pemikiran ekonomi Abu Ubaid























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis, dan fiqih.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.[1]
B.     Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran
Abu Ubaid merupakan ahli hadis dan fikih terkemuka di jaman hidupnya. Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Dalam hal ini fokus perhatian abu ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada tehnik efisiensi pengelolaannya akan permasalahan politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan teknokrat yang berstandar  pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatan yang bersifat holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia didunia dan diakhirat.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan perekonomian alquran dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan instansinya. Dengan kata lain umpan balik dari sosial politik ekonomi islami, yang berasal dari ajaran alquran dan hadis, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.
Berkat pengetahuan dan wawasanya yang begitu luas dalam berbagai ilmu, beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari mazhab mereka, walaupun fakta-fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fukaha yang independen. Abu Ubaid tidak sekalipun menyebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal. Sebaliknya, Abu Ubaid sering sekali mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah seorang gurunya yang juga guru Al-Syafi’i. Disamping itu, ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani, tetapi hampir seluruh pendapat mereka ditolaknya[2].
C.     Kitab Al-Amwal
Kitab al-Amwal terbagi dalam beberapa bagian dan bab. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya begitu juga sebaliknya. Pada bab selanjutnya, kitab ini menguraikan tentang berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta landasan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Hadith. Secara khusus, pembahasan mengenai pendapatan negara tersebut diprioritaskan pada fa’i, khums serta pegalokasiannya. Dari telaah singkat tersebut, nampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance). Selain itu, kitab ini juga menekankan mengenai perpajakan, hukum administrasi, hukum pertanahan dan hukum internasional. Oleh karena itu, kitab ini menjadi salah satu referensi utama tentang pemikiran hukum ekonomi di kalangan para cendekiawan muslim kala itu.[3]
D.    Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
1.      Filosofi Hukum dari Segi Ekonomi
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak kepada kepentingan publik.
 Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung kepada para penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas tentang tarif atau persentasi untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-Muslim yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity to pay dengan kepentingan dari golongan Muslim yang berhak menerimanya. Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid menekankan kepada petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushur,atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakat, dan di lain sisi masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritisme, penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion).[4]
2.      Dikotomi Badui (Masyarakat Desa) Ke Masyarakat Kota
Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Ia menjelaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban (perkotaan):
a.       Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban administratif dari semua kaum muslimin.
b.      Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka.
c.       Menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar al-Quran dan al-Hadith serta penyebaran keunggulannya.
d.      Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud.
e.       Memberikan contoh universalime islam dengan sholat berjamaah.[5]
Selain itu, di samping keadilan, Abu Ubaid juga mengatur suatu negara berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan kasih sayang. Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi yang sebesar yang telah dilakukan kaum urban tidak bisa mmeperoleh manfaat pendapatan fai sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum badui hanya dapat menerima fai pada saat terjadi tiga kondisi kritis yaitu:
a.       Ketika terjadi invasi musuh.
b.      Kemarau panjang (qai’ihah).
c.       Kerusuhan sipil (fatq).
Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.[6]
3.      Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan perbaikan Pertanian
Abu ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. dalam hal ini kepemilikan menurut pemikiran abu Ubaid adalah mengenai hubungan anatara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa. Bahkan tanah gurun yang termasuk hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui proses yang sama.
 Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[7]
4.    Reformasi Distribusi Zakat
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cendrung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan.
Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan setatus zakat, yaitu:
a.    Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
b.    Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
c.     Kalangan menerima zakat
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip ”bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannyamasing-masing”. Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberikan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, dia lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.[8]
5.    Fungsi Uang
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagi standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran(medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
 “Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu (infaq).
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum relatif konstanya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut jika digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduannya akan dapat berubah-ubah pula, karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya.  Abu Ubaid secara implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value)ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.[9]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan :
1.    Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis, dan fiqih.
2.    Abu Ubaid merupakan ahli hadis dan fikih terkemuka di jaman hidupnya. Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya.
3.      Kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance). Selain itu, kitab ini juga menekankan mengenai perpajakan, hukum administrasi, hukum pertanahan dan hukum internasional.
4.      Pemikiran ekonomi Abu Ubaid lebih menfokuskan pemikirannya pada keungan publik (public finance)
B.     Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini. Harapan kami dengan adanya makalah ini bisa menjadikan kita untuk lebih memahami tentang Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid. Serta dengan harapan semoga dapat difahami dan bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan, mengingat makalah masih jauh dari kesempurnaan.



DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar Karim.2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



                [1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal 264
                [2] Ibid, hal 265-267
                [3] http://dyanfitrianasyariahmuamalah.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html, diakses pada Jum’at, 06 Oktober 2015 Pukul 19:25
                [4] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam…. hal 272-275
                [5] Ibid, hal 275
                [6] http://dyanfitrianasyariahmuamalah.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html, diakses pada Jum’at, 06 Oktober 2015 Pukul 19:25
                [7] Ibid, hal 277-278
                [8] Ibid, hal 278-279
                [9] Ibid, hal 279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar