BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali
sejak Muhammad saw. dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah saw. mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh
penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata
ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai
sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam
tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta
filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad abad yang lampau.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran
munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu
diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram
atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi
dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para
pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya
sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus
ekonomi Islam sesungguhnya.
Dilihat dari waktu dimana para pemikir-pemikir
ekonomi islam hidup, dapat dibagi menjadi dua jenis pemikir, yaitu : para
pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut pemikir ekonomi islam klasik
dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 yang disebut sebagai pemikir
ekonomi islam kontemporer. Adapun sedikit pembahasan disini penulis mencoba
menapak tilasi salah seorang pemikir ekonomi islam klasik, yaitu Abu Ubaid.
B.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup Abu Ubaid ?
2.
Bagaimana dengan latar belakang kehidupan dan corak
pemikirannya ?
3.
Apa saja yang dibahas dalam kitab al-amwal ?
4.
Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ubaid ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang riwayat
hidup Abu Ubaid
2.
Untuk mengetahui latar belakang dan corak pemikiran Abu
Ubaid
3.
Untuk memahami tentang kitab al-amwal
4.
Untuk memahami tentang pemikiran ekonomi Abu Ubaid
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam
bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H
di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan ayahnya keturunan
Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di
kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut
ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Baghdad. Ilmu-ilmu yang
dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir,
hadis, dan fiqih.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik,
Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu
Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis
kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H,
setelah berhaji, ia menetap di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun
224 H.[1]
B.
Latar Belakang Kehidupan dan
Corak Pemikiran
Abu Ubaid merupakan ahli hadis dan fikih terkemuka di jaman hidupnya.
Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah
kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Dalam hal ini fokus
perhatian abu ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan
dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada tehnik efisiensi
pengelolaannya akan permasalahan politik dan ekonomi yang diimplementasikan
melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan
yang bersifat profesional dan teknokrat yang berstandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa
menyimpang prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan Abu
Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari
pendekatan yang bersifat holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia
didunia dan diakhirat.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang
cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga hijriyah (abad kesembilan
Masehi) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan
perekonomian alquran dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan
dan instansinya. Dengan kata lain umpan balik dari sosial politik ekonomi
islami, yang berasal dari ajaran alquran dan hadis, mendapatkan tempat yang
eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.
Berkat pengetahuan dan wawasanya yang begitu luas dalam berbagai ilmu,
beberapa ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari
mazhab mereka, walaupun fakta-fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang
fukaha yang independen. Abu Ubaid tidak sekalipun menyebut nama Abu Abdullah
Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal. Sebaliknya, Abu
Ubaid sering sekali mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah seorang gurunya
yang juga guru Al-Syafi’i. Disamping itu, ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani, tetapi hampir seluruh
pendapat mereka ditolaknya[2].
C.
Kitab Al-Amwal
Kitab al-Amwal terbagi
dalam beberapa bagian dan bab. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid secara singkat
membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya begitu juga
sebaliknya. Pada bab selanjutnya, kitab ini menguraikan tentang berbagai jenis
pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta
landasan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Hadith. Secara khusus, pembahasan
mengenai pendapatan negara tersebut diprioritaskan pada fa’i,
khums serta pegalokasiannya. Dari telaah singkat tersebut, nampak bahwa
kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada
masalah keuangan publik (public finance). Selain itu, kitab ini juga
menekankan mengenai perpajakan, hukum administrasi, hukum pertanahan dan hukum
internasional. Oleh karena itu, kitab ini menjadi salah satu referensi utama
tentang pemikiran hukum ekonomi di kalangan para cendekiawan muslim kala itu.[3]
D.
Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
1.
Filosofi Hukum
dari Segi Ekonomi
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum,
akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu
Ubaid, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.
Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak
individu, publik, dan negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan
kepentingan publik, ia akan berpihak kepada kepentingan publik.
Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat
diberikan kepada negara ataupun langsung kepada para penerimanya, sedangkan
zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka
kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid juga menekankan bahwa
perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh
penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan negara
harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas tentang tarif atau
persentasi untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung
tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-Muslim
yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity to pay dengan
kepentingan dari golongan Muslim yang berhak menerimanya. Kaum Muslimin
dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim melebihi dari apa
yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid menekankan kepada petugas pengumpul kharaj,
jizyah, ushur,atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakat,
dan di lain sisi masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur
dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan
terjadinya diskriminasi atau favoritisme, penindasan dalam perpajakan serta
upaya penghindaran pajak (tax evasion).[4]
2.
Dikotomi Badui (Masyarakat Desa) Ke Masyarakat Kota
Pembahasan mengenai dikotomi
badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai.
Ia menjelaskan bahwa bertentangan dengan kaum badui, kaum urban (perkotaan):
a.
Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagai
kewajiban administratif dari semua kaum muslimin.
b.
Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui
mobilisasi jiwa dan harta mereka.
c.
Menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar
al-Quran dan al-Hadith serta penyebaran keunggulannya.
d.
Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui
pembelajaran dan penerapan hudud.
Selain itu, di samping keadilan, Abu
Ubaid juga mengatur suatu negara berdasarkan administrasi, pertahanan,
pendidikan, hukum dan kasih sayang. Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi
yang sebesar yang telah dilakukan kaum urban tidak bisa mmeperoleh manfaat
pendapatan fai sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum
badui hanya dapat menerima fai pada saat terjadi tiga kondisi
kritis yaitu:
a. Ketika terjadi invasi musuh.
b. Kemarau panjang (qai’ihah).
c. Kerusuhan sipil (fatq).
Abu Ubaid memperluas cakupan kaum
badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.[6]
3.
Kepemilikan
dalam Konteks Kebijakan perbaikan Pertanian
Abu ubaid mengakui adanya kepemilikan
pribadi dan kepemilikan publik. dalam hal ini kepemilikan menurut pemikiran abu
Ubaid adalah mengenai hubungan anatara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan
pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan,
seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi
terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai
insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Maka tanah yang diberikan
dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak,
jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan
kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa. Bahkan tanah gurun yang
termasuk hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika
tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui
proses yang sama.
Dalam
pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api
tidak boleh dimonopoli seperti hima (taman pribadi). Seluruh
sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[7]
4.
Reformasi Distribusi
Zakat
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang
menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara
delapan kelompok penerima zakat dan cendrung menentukan suatu batas tertinggi
terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta menyelamatkan
orang-orang dari bahaya kelaparan.
Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga
kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan setatus zakat, yaitu:
a.
Kalangan kaya yang
terkena wajib zakat
b.
Kalangan menengah
yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
c.
Kalangan menerima
zakat
Berkaitan dengan distribusi kekayaan
melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip ”bagi setiap orang
adalah menurut kebutuhannyamasing-masing”. Lebih
jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak)
yang diberikan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya,
dia lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai
dengan haknya”.[8]
5.
Fungsi Uang
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang,
yakni sebagi standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan
media pertukaran(medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
“Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan
perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan
jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini
adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu (infaq).”
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung
teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan
mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga
dari barang dan jasa. Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum relatif konstanya
nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya.
Jika kedua benda tersebut jika digunakan sebagai komoditas, nilai dari
keduannya akan dapat berubah-ubah pula, karena dalam hal tersebut keduanya akan
memainkan dua peran yang berbeda, yakni barang yang harus dinilai atau sebagai
standar penilaian dari barang-barang lainnya. Abu Ubaid secara
implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store
of value)ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena
zakat.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan :
1.
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam
bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H
di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan ayahnya keturunan
Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di
kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut
ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Baghdad. Ilmu-ilmu yang
dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir,
hadis, dan fiqih.
2.
Abu Ubaid merupakan ahli hadis
dan fikih terkemuka di jaman hidupnya. Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu
Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta
penanggulangannya.
3.
Kitab al-Amwal secara khusus
memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance).
Selain itu, kitab ini juga menekankan mengenai perpajakan, hukum administrasi,
hukum pertanahan dan hukum internasional.
4.
Pemikiran
ekonomi Abu Ubaid lebih menfokuskan pemikirannya pada keungan publik (public
finance)
B. Saran
Demikianlah
tugas penyusunan makalah ini. Harapan kami dengan adanya makalah ini bisa
menjadikan kita untuk lebih memahami tentang Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid. Serta dengan harapan semoga dapat difahami dan
bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan, mengingat
makalah masih jauh dari kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwarman Azwar Karim.2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[3]
http://dyanfitrianasyariahmuamalah.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html,
diakses pada Jum’at, 06 Oktober 2015 Pukul 19:25
[6] http://dyanfitrianasyariahmuamalah.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html, diakses
pada Jum’at, 06 Oktober 2015 Pukul 19:25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar