A. Pengertian Kepemilikan
Menurut Muhammad H. Behesti, kepemilikan merupakan pemberian
yang bersifat sosial dan diakui suatu hak kepada seseorang, atau suatu kelompok
masyarakat.[1] Sedangkan
Milik atau hak milik sebagiamana yang dianut oleh KUH Perdata pasal 570 adalah
“hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan
untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal
tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang telah ditetapkan
oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak menganggu hak orang
lain, kesemuanya itu dengan tak
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar
atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.[2]
Sedangkan Para ahli fikih telah
mendefinisikan milik (al-milk) dengan berbagai batasan, namun substansinya
hampir sama, di antaranya:
“Kekhususan
eksklusifitas terhadap sesuatu yang memberi otoritas pada pemililknya untuk
menggunakannya, kecuali apabila terdapat halangan-halangan syara’”, dan
definisi al-Qarafi (w. 684 H/1285 M):
“hukum
syara’ tertentu pada suatu benda atau
manfaat jasa, dimana orang memiliki hukum tersebut memiliki otoritas untuk
menggunakan yang ia miliki tersebut”.
Dari
definisi diatas memberi implikasi bahwa kepemilikan akan sesuatu harus atas
dasar hukum syara’, dan bahwa pemilik tersebut mempunyai hak eksklusifitas atas
miliknya, dan bahwa otoritas seseorang terhadap milik dapat dicabut apabila
terdapat alasan-alasan syara’, seperti orang dianggap tidak cakap bertindak
hukum,gila, bodoh, zalim, dan kanak-kanak.[3]
Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai para
pemiliknya, selama harta itu diperoleh
lewat jalan yang halal. Islam memperingatkan setiap orang yang
merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi
kalau pemilik harta itu adalah kaum
lemah, seperti anak yatim atau wanita.[4]
“Dan janganlah kamu mendekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia
dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya.” (al-Isra’:34)
B. Asas-asas Kepemilikan
C. Sebab-sebab Kepemilikan
Menurut
Imam Ghazali, ada dua cara pemilikan harta. Cara yang pertama adalah cara yang
diridhai oleh pemiliknya, sedangkan cara yang kedua tidak diridhai oleh
pemiliknya. Adapun cara yang diridhai terbagi dua: antara yang diperoleh bukan
dari pemiliknya, seperti barang tambang, dan yang diperoleh dari pemiliknya.
Contoh cara yang tidak diridhai adalah warisan. Yang mendapat harta dari
pemiliknya bisa dengan sikap rela hati atau dengan jalan paksa. Yang diambil
secara ridha terbagi dua: diperoleh dengan menggantikannya dengan yang lain,
misal jual beli, atau diperoleh tanpa menggantikannya, misalnya hadiah atau
wasiat. Yang diambil secara paksa juga
terbagi dua: diambil karena hilangnya hak kepemilikan, seperti harta rampasan
perang, dan karena ada hak manusia di dalam hartanya, seperti pengambilan
zakat.[5]
D. Jenis-jenis Kepemilikan dalam Islam
Pengelompokan kepemilikan dalam Islam
dapat dipetakan menjadi empat macam tipe yaitu kepemilikan umum, kepemilikan
khusus (individu), kepemilikan mutlak (absolut), dan kepemilikan relatif
(sementara).[6]
1. Kepemilikan Umum adalah kepemilikan
secara kolektif atau hak milik sosial. Artinya, kepemllikan itu tidak dikuasai
oleh orang, namun dikuasai oleh orang banyak atau masyarakat secara
bersama-sama.
2. Kepemilikan khusus (individu) adalah setiap
individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara
produktif, memindahkannya dan melindungi dari penyia-nyiaan (pemubaziran).
3. Kepemilikan Mutlak adalah pemilik hakiki
semua kekayaan (harta benda) di alam semesta ini adalah Allah swt. Karena Allah
swt yang menciptakan segala segala sesuatu, maka hanya Dia-lah yang memiliki
kekuasaan penuh untuk mengontrol apa yang diciptakan-Nya itu.
4. Kepemilikan Relatif adalah sekalipun
harta itu milik Allah swt, namun kepemilikan
manusia diakui secara de jure karena Allah swt sendiri telah
mengaruniakan padanya kekayaan dan Dia mengakui kepemilikan tersebut.
E. Kepemilikan dalam Sistem Ekonomi Islam
Menurut An-Nabhaniy sistem ekonomi Islam
ditegakan di atas tiga pilar utama yaitu:
1. Konsep Kepemilikan
Islam memiliki pandangan yang khas
tentang harta. Bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah. Seseorang yang
ingin memiliki sesuatu harus memiliki proses perpindahan yang sesuai dengan
syariah Islam. Akan tetapi Islam pun mengakui kepemilikan umum dan individu
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
2. Pemanfaatan Kepemilikan
Kejelasan konsep kepemilikan sangat
berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan hak milik. Yakni sesungguhnya siapa
yang berhak mengelola memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan harta dibagi
dua:
a. Pengembangan harta adalah upaya-upaya
yang berhubungan dengan cara dan sarana yang dapat menumbuhkan pertambahan harta. Caranya antara lain harus
ditempuh dengan bekerja (aktivitas bisnis).
b. Infak
harta adalah pemanfaatan harta
dengan atau tanpa kompensasi atau perolehan balik. Islam mendorong umatnya
untuk menginfakan hartanya untuk kepentingan umum yang lain, terutama pihak
yang sangat membutuhkan.
3. Konsep Pendistribusian Kekayaan
Islam telah menetapkan sistem
distribusi kekayaan di antara manusia dengan cara sebagai berikut:
a. Mekanisme pasar adalah bagian terpenting
dari konsep distribusi. Akan tetapi mekanisme ini akan berjalan dengan alami
dan otomatis jika konsep kepemilikan dan pemanfaatan harta berjalan sesuai
dengan hukum Islam.
b. Bentuk transfer dan subsidi, untuk
menjamin keseimbangan ekonomi bagi pihak yang tidak mampu bergabung dengan
mekanisme pasar karena alasan-alasan tertentu seperti cacat, idiot dan
sebagainya maka Islam menjamin kebutuhan mereka dengan berbagai cara sebagai
berikut:
1. Wajibnya muzzaki membayar zakat yang
diberikan kepada mustahik
2. Setiap warga negara berhak memanfaatkan
pemilikan umum. Negara boleh mengolah dan mendistribusikannya secara
cuma-cuma atau dengan harga murah.
3. Pembagian harta seperti tanah, barang
dan uang sebagai modal kepada yang memerlukan.
4. Pemberian harta waris kepada ahli waris
5. Larangan menimbun emas dan perak
walaupun dikeluarkan zakatnya.
Pada umumnya perintah etis dan
hukum (syariat) yang berkaitan dengan kepemilikan dalam Islam, antara lain:
1. Memanfaatkan harta benda
sebanyak-banyaknya tanpa memberi pengaruh yang merugikan kepentingan masyarakat
2. Membayar zakat
3. Membelanjakan harta benda di jalan Allah
swt
4. Tidak mengambil bunga
5. Menghindari kecurangan dalam urusan
bisnis, penimbunan atau monopoli[7]
[1] Muhammad
Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN
Malang Press, 2009), hal 65
[2] Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan
Konsumen, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2004), hal 150
[3] Ibid,
hal 151
[4] Yusuf
Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1997),
hal 87
[5] Yusuf
Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam...hal 89
[6] Muhammad
Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi... hal 76
[7] Ibid, hal
87-89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar