BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berawal dari pengetahuan sejarah yang sangat
fenomenal, dapat diketahui bahwa perekonomian islam sangat berkembang pesat
melalui sektor wakaf. Dalam perwakafan pada zaman dahulu melalui nadzir-nadzir
yang professional wakaf dapat dijadikan sumber penghasilan suatu negara.
Dalam sistem perkonomian islam yang sekarang dapat
kita saksikan bersama, wakaf memang belum banyak dieksplorasikan sebagai peran
penting layaknya pada zaman dahulu islam berkembang sebagai peran yang sangat
penting perekonomian suatu negara. Padahal kalau kita lihat sejarah pada zaman
dahulu wakaf mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai
kegiatan-kegiatan, utamanya kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan
masayarakat islam.
Sesungguhnya investasi dana wakaf adalah untuk orang
itu sendiri memperoleh pahala dari Allah SWT dan dapat pembangunan ekonomi
umat. Yang lebih penting lagi investasi dana wakaf tersebut ialah untuk
mengoptimalkan fungsi harta wakaf yang berguna sebagai prasarana untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan yang layak pada sumber daya insani.
B.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pembentukan institusi wakaf ?
2.
Bagaimana sistem
pengelolaan dana wakaf ?
3.
Bagaimana
membuka jaringan kerjasama wakaf ?
4.
Bagaimana
meningkatkan political will pemerintah ?
C.
Tujuan
1.
Untuk memahami
tentang pembentukan institusi wakaf
2.
Untuk mengetahui
tentang system pengelolaan dana wakaf
3.
Untuk mengetahui
tentang membuka jaringan kerjasama wakaf
4.
Untuk mengetahui
tentang meningkatkan political will pemerintah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pembentukan
Institusi Wakaf
Penerimaan wakaf berdasarkan literatur sejarah dilakukan oleh institusi
baitul mal. Baitul mal merupakan institusi dominan dalam sebuah pemerintahan
Islam ketika itu. Baitul mal lah yang berperan secaara kongkrit menjalankan
program-program pembangunan melalui
devisi-devisi kerja yang ada dalam lembaga ini, di samping tugas utamanya
sebagai bendahara negara (treasury house).
Di Indonesia lembaga yang
khusus mengelola wakaf yaitu Badan Wakaf Indonesia yang mempunyai fungsi sangat
strategis yang dibentuk diharapkan dapat membantu, baik dalam pembinaan maupun
pengawasan terhadap para Nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf secara
produktif. Pembentukan BWI bertujuan untuk menyeleggarakan administrasi
pengelolaan secara nasional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan
kepadanya, khususnya yang berkaitan dengan tanah wakaf produktif strategis dan
promosi program yang dilakukan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat
Islam pada umumnya BWI ini seharusnya profesional independen dan pemerintah
sebagai hanya regulator, fasilitator, motivator dan public service[1]. Badan
wakaf dibentuk berdasarkan amanat UU No. 41/2004. BWI merupakan lembaga
independen yang dibentuk untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional[2].
B.
Sistem Pengelolaan Dana Wakaf
Dalam konteks wakaf, maka
pembiayaan proyek wakaf bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf
sebagai prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sumber daya
insani[3]. Untuk
mengelola wakaf tunai, harus ada sistem yang diterapkan. Paling tidak, ada pola
(standar pelaksanaan) yang dibakukan agar dana yang akan dan sudah dikumpulkan
dengan diberdayakan secara maksimal. Standar atau pola tersebut terkait dengan
hal-hal berikut:
1.
Memberi peran perbankan
syariah
Ada beberapa alternatif peran
dan posisi perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf tunai. Menuruut tim
penyusun makalah dari biro perbankan syariah bank Indonesia (BI) yang berjudul:
“Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai”, yaitu:
a.
Bank syariah sebagai
nazhir penerima, penyalur dan
pengelolaan dana wakaf
b.
Bank syariah sebagai nazhir
penerima dan penyalur dana wakaf
c.
Bank syariah sebagai pengelola
(fund manager) dana wakaf
d.
Bank syariah sebagai kustodi
e.
Bank syariah sebagai kasir
badan wakaf Indonesia[4]
2.
Posisi LKS dalam peraturan
perundang-undangan wakaf
Jika seseorang mewakafkan
sebagian uangnya dapat dilakukan melalui LKS yang ditunjuk oleh menteri sebagai
LKS penerima wakaf uang (LKS-PWU). LKS yang ditunjuk oleh menteri berdasarkan saran dan
pertimbangan dari BWI. Saran dan pertimbangan yang dikeluarkan oleh BWI
tersebut setelah mempertimbangkan saran instansi tersebut.[5]
3.
Membentuk lembaga investasi dana
Adapun jenis investasi yang harus digalang hanya dapat dilakukan pada instrumen
keuangan yang sesuai dengan syariat Islam dan tidak mengandung unsur riba.
Sebagai contoh kerjasama antara nazhir
wakaf dengan pihak pengelola investasi adalah Dompet Dhuafa Republika
dengan Batasa (BTS) Capital.[6]
4.
Menjalin kemitraan usaha
Untuk mnedukung keberhasilan pengembangan aspek produktif dari dana wakaf tunai, perlu
diarahkan model pengelolaan dana tersebut kepada sektor usaha yang produktif
dengan lembaga usaha yang memiliki reputasi yang baik.[7]
5.
Memberi peran lembaga penjamin syariah
Sebagai sebuah konsep yang masih baru dalam Islam, pengelolaan wakaf tunai
harus betul-betul savety (aman) karena terkait dengan keabadian benda wakaf
yang tidak boleh berkurang. Untuk itu, dalam upaya memayungi agar usaha-usaha
pemberdayaan dana wakaf tunai tidak berkurang, apalagi hilang karena lost dalam
uusahanya, maka diperlukan lembaga penjamin syariah. Lembaga penjamin syraiah
ini harus menggunakan kejelasan kontrak
akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah.[8]
Bentuk pengelolan dana wakaf
yang sudah terkumpul melalui penerbitan sertifikat wakaf tunai (SWT), baik yang
dilakukan oleh perbankan syariah atau oleh lembaga nazhir wakaf tunai dapat
diberdayakan dengan menjalin kerjasama strategis yang melibatkan langsung
pengelola (nazhir) tanah-tanah wakaf strategis, jika dirasa dana yang terkumpul
sudah mencukupi.
Tentu saja jalinan kerjasama
ini harus memiliki komitmen bersama agar tanah-tanah atau bangunan yang
strategis dapat diberdayakan untuk kepentingan
peningkatan keuntungan ekonomi. Namun seluruh jenis kerjasama tersebut
harus melibatkan lembaga penjamin
syariah yang menjadi benteng terakhir agar upaya pengelolaan wakaf tunai jika
mengalami kerugian dapat ditanggulangi. Karena prinsip dari dana wakaf itu
sendiri harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh berkurang sedikitpun apalagi habis[9].
C.
Membuka Jaringan Kerjasama Wakaf
Upaya pengembangan
wakaf secara tradisional, bahkan internasional harus dilakukan. Secara
internasional sebenarnya sudah dilakukan, khususnya dilingkungan negara-negara
anggota OKI yang diprakasi oleh IDB yang berpusat di Jeddah. Secara khusus,
pengembangan wakaf ini dilakukan oleh sebuah divisi yang disebut Islamic Economics Cooperation and Development
Devision (IECD). Devisi ini merupakan salah satu dari devisi teknis dari islamic
research and training institute (IRTI). Lembaga ini selain melakukan pengkajian
dan pelatihan, juga memberikan bantuan teknis
dan finansial, termasuk untuk pengembangan wakaf. Namun demikian, suatu
jaringan kerjasama yang lebih fleksibel dan efektif diperlukan untuk tingkat
nsaional, regional maupun internasional.
Oleh karena itu, hal-hal yang bisa dilakukan dalam rangka
membangun jaringan dan kerjasama wakaf adalah dengan membentuk:
1.
Jaringan lembaga-lembaga wakaf
2.
Jaringan kepakaran wakaf
3.
Jaringan permodalan, investasi dan pengembangan
4.
Jaringan informasi dan komunikasi[10]
D.
Meningkatkan Political Will
Pemrintah
Setelah regulasi perundangan
wakaf sudah tertangani secara baik dan pola kemitraan dengan beberapa pihak
yang terkait dengan pemberdayaan wakaf sudah terjalin, maka satu hal lagi yang
harus dilakukan dalam rangka mengembangkan wakaf tunai adalah adanyya political
will pemerintah dalam meregulasi peraturan perundangan yang terkait, seperti UU
moneter dan keuangan, perpajakan, perdagangan, perindustrian, dan lain-lain. Hal ini dilakukan dalam rangka
memback up secara utuh agar wakaf dapat dikelola secara profesional.
Selain masalah peraturan
perundangan yang terkait dengan pemberdayaan wakaf, aspek anggaran juga harus
mendapat perhatian. Kalau selama ini anggran untuk pengembangan wakaf masih
belum memadai, maka di masa depan harus bisa dinaikan secara signifikan. Hal
ini terkait dengan pembenahan secara menyeluruh terhadap infrastruktur maupun
suprastruktur pasca diundangkan UU wakaf.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan :
1.
Penerimaan wakaf
berdasarkan literatur sejarah
dilakukan oleh institusi baitul mal. Baitul mal lah yang berperan secaara kongkrit menjalankan
program-program pembangunan melalui
devisi-devisi kerja yang ada dalam lembaga ini, di samping tugas utamanya
sebagai bendahara negara (treasury house).
2.
Untuk mengelola wakaf tunai, harus ada sistem yang
diterapkan. Paling tidak, ada pola (standar pelaksanaan) yang dibakukan agar dana
yang akan dan sudah dikumpulkan dengan diberdayakan secara maksimal.
3.
Oleh karena itu, hal-hal yang bisa dilakuakn dalam rangka
membangun jaringan dan kerjasama wakaf adalah dengan membentuk:
Jaringan lembaga-lembaga wakaf,
Jaringan kepakaran wakaf, Jaringan permodalan, investasi dan pengembangan,
dan Jaringan informasi dan
komunikasi.
4.
Setelah regulasi perundangan
wakaf sudah tertangani secara baik dan pola kemitraan dengan beberapa pihak
yang terkait dengan pemberdayaan wakaf sudah terjalin, maka satu hal lagi yang
harus dilakukan dalam rangka mengembangkan wakaf tunai adalah adanyya political
will pemerintah dalam meregulasi peraturan perundangan yang terkait, seperti UU
moneter dan keuangan, perpajakan, perdagangan, perindustrian, dan lain-lain. Hal ini dilakukan dalam rangka
memback up secara utuh agar wakaf dapat dikelola secara profesional.
B.
Saran
Demikianlah
tugas penyusunan makalah ini. Harapan kami dengan adanya makalah ini bisa
menjadikan kita untuk lebih memahami tentang Strategi Pengelolaan Dana Wakaf.
Serta dengan harapan semoga dapat difahami dan
bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan, mengingat
makalah masih jauh dari kesempurnaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar